CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #16

CRIMSON SKY PART 3

Agra menyesap rokoknya sekali lagi. Asap tipis melayang dari bibirnya, sementara keraguan perlahan tampak menggelayuti sorot matanya. Angin laut berembus semakin kencang seiring malam yang menua, membuat udara di sekitar mereka menggigit. Namun Eva, yang dipenuhi rasa ingin tahu hingga ke ujung nadinya, lagi-lagi tak merasakan dingin itu sama sekali. Keinginannya untuk mengetahui kebenaran tentang kematian Kalista Devi—dan masa lalu Senzo—membara terlalu panas untuk direndam angin malam. 

“Aku enggak yakin soal itu,” ujar Agra akhirnya. Suaranya datar, tapi cukup memecah keheningan yang sejak tadi menekan di antara mereka. “Tapi ini mungkin bisa membantu. Di tahun ketiga SMA kami, Lili bukan cuma kena satu masalah. Pertama, ayahnya meninggal. Kedua, ibunya menyusul. Ketiga, adiknya dibawa pergi oleh Paman dan Bibinya. Sejak itu, Lili tinggal sendirian di rumah itu, hanya demi menamatkan SMA. Saat itu, dia sangat bergantung pada Sena dan keluarganya.” 

Hanya dengan mendengar potongan kisah itu, Eva—sebagai seorang perempuan—bisa membayangkan betapa berat beban yang harus Kalista Devi pikul di tahun itu. Serangkaian kejadian buruk yang menghantam tanpa jeda jelas mengoyak batinnya. Mungkin tak kasatmata, tapi luka itu … sangat nyata. 

“Aku dengar beberapa desas-desus waktu itu …” lanjut Agra. 

“Desas-desus?” ulang Eva cepat. Matanya membesar, berkilat seperti seseorang yang baru saja menemukan petunjuk penting. “Desas-desus apa?” 

“Katanya, ada pertikaian di dalam Crimson Sky.” 

Agra pun mulai bercerita tentang tahun ketiga SMA mereka. 

Tahun itu seharusnya menjadi tahun keemasan bagi Crimson Sky. Kesuksesan mereka di tahun kedua membuat nama band itu melejit–bukan hanya di sekolah, tapi mulai terdengar di luar lingkup itu. Mereka cukup sering tampil di pantai pada malam akhir pekan, dan setiap kali itu terjadi, orang-orang selalu merespon dengan antusias. Lagu-lagu mereka diterima dengan hangat, dan nama kelima anggota Crimson Sky dikenal hampir semua orang di pantai Velantara. 

Namun memasuki tahun ketiga, semuanya berubah. 

Entah apa yang terjadi, hubungan Lili dan Sena tak lagi seharmonis sebelumnya.  Perlahan tapi pasti, jarak di antara mereka mulai terasa—dan tak seorang pun tahu sebabnya selain anggota band itu sendiri. Tak ada bukti konkret tentang pertikaian internal, tapi perubahan itu tampak jelas pada karya mereka. Lagu-lagu Crimson Sky yang dulu ceria dan manis, pelan-pelan bergeser menjadi sesuatu yang berbeda. Lebih berat. Lebih gelap. 

Agra kemudian bersenandung lirih, menyanyikan dua lagu yang ia ingat. Lagu pertama berjudul “Tak Pernahkah …” 


Entah sejak kapan, aku mulai bertanya-tanya … 

Tak pernahkah kamu sadari, pipiku selalu merona saat kita tertawa bersama


Entah sejak kapan, aku mulai mempertanyakan … 

Tak pernahkah kamu sadari, senyum selalu ada di bibiku saat kita bicara 


Mungkin karena kita selalu bersama

Atau mungkin karena ikatan persahabatan di antara kita …

Kau tak pernah menyadari detak jantungku yang semakin kencang ketika kita berdekatan. 


Aku harap di masa depan akan ada waktu kamu akan menyadarinya 

Aku berharap saat di mana kamu akan menyadarinya, akan datang

Ada aku di sini yang selalu melihat ke arahmu 

dan berharap kamu juga akan melihatku dengan cara yang sama. 


Deg! Senandung itu menghentak benak Eva seketika, seperti ada sesuatu yang tiba-tiab terhubung di dalam kepalanya. Nada-nada yang keluar dari bibir Agra terdengar terlalu personal, terlalu penuh emosi untuk sekadar lagu biasa. Di saat itulah satu dugaan muncul—tajam dan mengusik. Lagu itu terdengar seperti ungkapan hati seseorang yang tengah mencintai … atau kehilangan. 

Dan sebuah pertanyaan besar pun terbit di pikirannya: apakah kehadiran penulis bernama L. A. Melody benar-benar membawa keberuntungan bagi Crimson Sky, atau justru menjadi bibit kemalangan yang menenggelamkan mereka? 

“Siapa penulis lagu itu?” sela Eva cepat, memotong alunan senandung Agra. 

“Seperti yang aku bilang sebelumnya, penulis lagu itu adalah L. A. Melody,” jawab Agra tanpa ragu, suaranya mantap. 

Eva mengernyit. Jawaban yang terlalu cepat selalu menyimpan sesuatu. Ia memiringkan kepala, menimbang-nimbang. “Kapan tepatnya kamu melihat buku catatan milik Lili?” tanyanya lagi, lebih dalam. 

“Di tahun ketiga SMA,” jawab Agra. “Semester kedua.” 

Lihat selengkapnya