CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #17

HASIL PART 1

Hari terakhir di Velantara tiba tanpa membawa jawaban yang Eva harapkan. Alasan di balik kematian Kalista Devi—yang menyeret empat sahabatnya menjadi tersangka—masih terkunci rapat. Pagi itu, satu-satunya agenda Eva adalah bertemu kembali dengan Agra. Rencananya cukup padat: menemui beberapa teman lama pria itu, mengunjungi makam Kalista Devi beserta keluarganya, lalu menepati janji terakhir—memberikan bayaran yang telah mereka sepakati. 

Semalam, Eva kembali ke penginapan lewat tengah malam. Seharusnya tubuhnya sudah menyerah pada lelah, tapi kenyataannya berbeda. Ia berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit kamar yang gelap, sementara potongan-potongan kisah masa lalu Senzo dan Crimson Sky berputar tanpa henti di kepalanya. Setiap jawaban baru justru melahirkan pertanyaan baru. 

Tak sanggup memaksa diri tidur, Eva akhirnya bangkit. Ia duduk di depan laptop, membuka kembali semua datang ia miliki tentang Senzo, Kalista Devi, dan Crimson Sky. Dua jam berlalu tanpa terasa. Baru ketika jam menunjukkan pukul dua lewat dini hari, rasa kantuk datang—itu pun sebentar. Sialnya, pukul enam pagi ia sudah terjaga pagi. Rasa penasaran di dadanya terlalu berisik untuk membiarkannya terlelah lebih lama. 

“Begitulah,” jawab Eva singkat sambil mengembuskan napas. 

“Apa jurnalis memang selalu seperti Ibu?” tanya Agra, kali ini nadanya lebih penasaran. “Mengejar kebenaran sampai enggak bisa tidur nyenyak?” 

Eva sedikit terkejut. Ia tak menyangka pertanyaan itu keluar dari pria yang tampak tak terlalu peduli dengan dunia di luar hidupnya sendiri. “Kalau dulu, mungkin iya,” jawabnya datar. “Sekarang? Banyak yang cuma mengejar sensasi, rating, dan uang.” 

Agra mengangguk pelan. Asap rokok keluar dari mulutnya, melayang sejenak sebelum tertiup angin laut yang segar. “Di mana-mana memang sama,” katanya lirih. “Uang dan kedudukan selalu bisa mengubah segalanya.” 

Ia berdiri, melempar puntung rokok ke pasir, lalu menginjaknya sampai bara terakhir mati. Senyum tipis terbit di bibirnya. “Ada alasan lain kenapa kemarin aku mendekati Ibu.” 

“Bukan cuma karena uang?” tebak Eva cepat. 

Agra mengangguk. “Itu alasan utama, tapi …” Ia terdiam sejenak, pandangannya tertuju ke laut, seolah menarik kembali kenangan lama. “Aku cuma penasaran bagaimana jurnalis itu. Di masa lalu, Lili pernah bilang, kalau sudah dewasa, ia ingin jadi jurnalis. Kalau dia masih hidup, aku yakin saat kuliah, dia bakal ambil jurusan jurnalistik.” 

Eva menatapnya, terkejut. “Kamu tahu dari mana?” 

“Waktu kami satu kelas. Guru pernah menyuruh kami membuat cerita tentang cita-cita,” jawab Agra dengan senyum samar. “Aku baca cerita Lili dan di situlah aku tahu keinginan dia.” 

Keheningan singkat menggantung di antara mereka. Angin pantai berdesis pelan. Eva tak pernah membayangkan bahwa gadis yang kisah hidupnya kini ia bongkar satu persatu, pernah memimpikan jalan yang sama dengannya. 

“Ayo pergi,” ucap Eva akhirnya, memecah hening. “Waktuku enggak banyak.” 

Agra kembali meminta Eva membonceng motor bututnya—kendaraan tua yang mesinnya masih setia bekerja meski knalpotnya meraung kasar. Mereka menuju rumah Agra. Di sana sudah menunggu beberapa orang: pria dan wanita seusianya, teman-teman lama yang masih bertahan hidup di pesisir. Dalam waktu singkat, Agra berhasil mengumpulkan sepuluh orang—empat pria dan enam wanita. 

Lihat selengkapnya