CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #19

HASIL PART 3

“Agra! Matikan rokokmu itu!” hardik Pak Joko dengan suara cukup keras hingga memenuhi ruangan sempit itu. “Kamu mau membunuhku pelan-pelan dengan asap rokokmu, ha?”

Teguran itu seketika membuat Agra tersentak. Tanpa membantah, tanpa menyelipkan alasan apapun, ia segera mematikan rokoknya—padahal bara di ujungnya masih belum sepertiga menyala. Ada sesuatu dalam sikapnya yang jelas terlihat: rasa segan. Entah karena usia, wibawa, atau masa lalu Pak Joko, yang pasti Agra menghormati pria itu lebih dari siapapun. 

“Silakan diminum.” 

Tiga cangkir teh panas diletakkan di atas meja tamu yang sudah mulai kusam. Uapnya mengepul pelan, menari-nari di udara, menyebarkan aroma teh tawar yang hangat. Setelah semua tersaji, Pak Joko duduk perlahan dan mulai bercerita. 

Ia mengawali kisahnya dari masa sebelum pensiun—sekitar delapan tahun lalu, saat usianya hampir menginjak enam puluh lima. Kasus terakhir yang ia tangani sebelum melepaskan seragam kepolisian adalah kasus keluarga Kalista Devi. 

“Awalnya, kami semua mengira kematian Pak Imran hanyalah kecelakaan biasa …” ucap Joko. Suaranya berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi sorot matanya kosong—seperti sedang memungut kembali kepingan kenangan pahit yang lama terkubur. “Tapi setelah istrinya meninggal tiga bulan kemudian, barulah kami sadar kecelakaan itu tidak sesederhana yang kami kira.” 

“Ada yang aneh dengan dua kecelakaan itu, Pak?” sela Eva tak sabar. Rasa penasarannya kini berada di puncak. Ia membutuhkan jawaban—secepatnya. 

Joko menjelaskan pada kecelakaan yang menimpa ayah Kalista Devi, semuanya tampak bersih. Tidak ada kejanggalan. TKP sesuai laporan, kondisi jalan licin karena hujan deras, kabut turun cukup tebal. Kesalahan pengemudi lain pun masuk akal. Tak ada satupun celah yang mencurigakan. 

Namun, ibu Kalista Devi tidak percaya. 

Perempuan itu bersikeras mengatakan bahwa suaminya tidak tewas karena kecelakaan semata. Ia mengaku sang suami sempat berada di bawah tekanan, bahkan menerima ancaman. Sayangnya, semua itu hanya klaim—tanpa bukti. Tak ada pesan, tak ada saksi, tak ada rekaman. Kasus pun ditutup sebagai kecelakaan akibat kelalaian. Apalagi, tak lama kemudian, pelaku kecelakaan itu sendiri meninggal dunia karena sakit parah. 

“Waktu itu istri Pak Imran benar-benar marah,” lanjut Joko. “Ia tak lagi percaya pada kepolisian kota ini. Ia mencoba mencari bantuan sendiri—menghubungi rekan-rekan kerja suaminya di luar kota.” 

Pak Joko berhenti sejenak, menarik napas panjang. 

“Tapi tiga bulan setelah itu … ia juga meninggal. Kecelakaan.” 

Di situlah Joko mulai mencium kejanggalan. 

Sebagai ketua tim penyelidikan, ia memutuskan meninjau ulang seluruh kasus. Ia berniat pergi ke luar kota, menemui rekan-rekan kerja Imran—ayah Kalista Devi—untuk memastikan kecurigaannya. Namun sebelum rencana itu terwujud, kabar buruk datang satu persatu. 

“Dalam beberapa bulan,” kata Joko pelan, “semua rekan kerja Pak Imran meninggal. Penyebabnya beragam, tapi sebagian besar … karena kecelakaan.” 

Ia meraih cangkir tehnya, menyesap sedikit, membasahi tenggorokan yang terasa kering. 

“Kondisinya selalu mirip: jalanan buruk, cuaca tak bersahabat, kelalaian pengemudi lain. Kalau aku tak tahu hubungan mereka satu sama lain, mungkin aku juga akan menganggapnya kebetulan.” Ia menatap Eva lurus. “Tapi aku tahu mereka saling terhubung. Dan karena itu, aku yakin—mereka mati karena musuh yang sama.” 

Tak banyak yang bisa Joko lakukan. 

Sebagai polisi di kota kecil seperti Velantara, kewenangannya terbatas. Ia tahu ada sesuatu yang besar, sesuatu yang gelap, berada di balik kematian orang tua Kalista Devi. Namun musuh itu terlalu kuat, terlalu rapi, dan terlalu jauh dari jangkauannya. Pada akhirnya, demi keselamatan banyak pihak, semua kasus itu ditutup sebagai kecelakaan murni dan dilarang lagi untuk dibahas. 

Lihat selengkapnya