“Sudah siap? Lima menit lagi kalian tampil,” tegur cowok berseragam panitia itu ketika masuk ke ruang ganti.
Vita yang sedang berkutat dengan penata rambut tak bisa menanggapi dengan segera sehingga dia kemudian mengalihkan pandangan pada cowok yang duduk di sampingnya, apalagi karena cowok itu sudah selesai dengan persiapannya. Memahami maksud pandangan itu sang rekan memberi tanda kepada si panitia bahwa mereka akan segera siap seperti jadwal yang sudah ditetapkan...
“Gue nggak ngerti kenapa elu bersusah-payah dengan semua make-up ini,” komentar Riko. “Diluar panasnya bisa bikin semangkuk mentega meleleh.”
“Itu bukan halangan buat seorang profesional, bukan?” balas Vita. “Dan kita harus belajar menjadi salah satunya.”
Riko tidak berkomentar lebih jauh, hanya tersenyum melihat keteguhan hati temannya kalau sudah punya mau. Persis yang Riko bilang, siang itu matahari menghantam bumi seperti berniat hendak menghanguskannya, atau seperti perumpamaannya, melelehkan sekaleng mentega, dan keringat sebesar biji jagung membanjir deras di dahi dan leher keduanya selagi berdiri di sisi panggung untuk menunggu panggilan MC. Riko sendiri merasakan seragamnya segera basah oleh keringat yang mengucur di punggung.
“Selanjutnya apa nih, Bo?” tanya si MC cewek.
“Gue mau tanya dulu nih, elu pernah ikut Line Dance nggak, Ris?” tanya si MC cowok.
“Line Dance? Isinya ibu-ibu semua, Bo,” jawab MC cewek ketawa. “Nggak level gue...”
“Duile, nggak juga kelleesss. Banyak juga kok anak-anak muda energik yang ikutan, gue nih contohnya,” MC cowok berkata dengan nada ganjen.
“Wah, pantesan kaki elu mengurus yaa...” si MC cewek memegangi betis Bonar, si MC cowok, yang segera disambut gelak tawa penonton yang hanya segilintir.
“Apaan sih, nek! Dari lahir juga betis gue udah segede tales. Yang mengurus itu peruuutt,” kata si MC cowok. “Jadi elu nggak ikut Line Dance ya...tapi tahu kan apa itu?”
“Dansanya singa?” sahut si MC cewek asal.
Si MC cowok bengong sejenak untuk mencerna tapi kemudian dia berhasil mengartikan apa maksud rekannya, “Yaaaahhh, itu mah Lion Dance keleeesss...bukan! Ini Line Dance.”
“Oh, gue kira Lain Dance...”
“Udah aah, plesetan mulu kayak Srimulat...elu di sini dibayar buat ngemsi bukan ngelawak,” kata si MC cowok sebal sementara si MC cewek cekakakan.
"Nggak apa-apa lagi. Kan lumayan panitia dapet bonus, meskipun honor ngemsi gue nggak seberapa,” goda si MC cewek yang lagi-lagi disambut tawa riuh penonton.
“Ssssh, jangan gitu ah! Nggak enak, ntar kita nggak ditanggap lagi,” kata si MC cowok melirik ke kanan-kiri seolah memastikan di panggung itu tidak ada panitia yang mendengar percakapan mereka. “Tapi elu musti terima kasih sama panitia karena diundang kemari...kenapa? Soalnya anak-anak di sekolah ini kreatif, lho...buktinya nanti kita bisa lihat banyak kreasi-kreasi selain band yang juga ikutan sebagai pengisi...ada cheerleader, ada lawak group, dan gue baru tahu kalau pembuat video konyol yang lagi heboh di Youtube ternyata sekolah di Bukit Duri...”
Ucapan si MC cowok segera mendapat tepuk tangan meriah sementara MC cewek yang terlihat tertarik segera menambahkan, “Oh, video apaan itu, Bo?”
“Video tentang Line Dance tapi gayanya anak muda dan lucu banget...”
“Gaya anak muda dan lucu banget itu kayak apa?” tanya si MC cewek memancing.
“Yah, kagak gaul nih jadi MC...katanya MC Pensi profesional. Masa yang lagi nge-trend nggak tahu?” ledek si MC cowok.
“Praktekin dong,” tantang si MC cewek.
“Boleh, siapa takut? Tapi nggak seru lah kalau gue sendirian...makanya bagaimana kalau kita sekarang panggil mereka buat naik ke panggung dan kita Line Dance bareng, gimana?” tanya si MC cowok sementara penonton memberi tanggapan berupa teriakan dan tepuk tangan. “Kita sambut DUUUOOO TEEEKKOOO GOOOKKIIILLL...”
Riko dan Vita melambaikan tangan ke penonton setelah naik ke panggung. Dia baru bisa melihat dari atas sini kalau pengunjung yang mengerumuni panggung pensi siang ini tidak terlalu banyak, mungkin tidak sampai seratus orang, karena kerumunan itu habis setelah deret keempat. Seingatnya panitia berjanji mempromosikan acara ini habis-habisan supaya mendatangkan banyak penonton, oleh karena itulah dia dan Vita juga rela habis-habisan buat mempersiapkan penampilan.
Tapi melihat kenyataan yang ada di hadapannya, Riko merasa apa yang sudah mereka kerjakan rasanya tidak sepadan. Atau mungkin panitia yang terlalu bodoh...keliru menempatkan mereka di jam sepi pengunjung...apa pun alasannya, Riko tak dapat berlama-lama memasang tampang masam sebab musik keburu berdentam dari amplifier. Dalam sepuluh ketukan berikutnya dia harus menyesuaikan diri dengan gerakan Vita dengan senyum terkembang.