"Tapi, sebelum kembali ke istana ... bisakah kau membelikanku roti di pasar?" tatapan genit Charu pada Natsu.
"Jadi, aku yang harus membayarmu, Shin yu?" Natsu bertingkah sama. Memperlakukan Charu selayaknya adik kandungnya sendiri.
"Kalau kau tak mau aku akan kembali ke pemukiman warga. Bagaimana?"
"Baiklah ... naiklah ke punggung kudaku."
Keduanya kini berada di tunggangan yang sama. Natsu memilih secara acak penjual roti yang berada di sepanjang jalanan pasar.
"Berada di tempat ini membuatku merasa nyaman. Aku menyukai kehidupan yang bebas tak mengekang." ungkap Charu mencicipi roti tepung miliknya.
"Kehidupan bebas tidak baik untuk seorang wanita. Apa selama ini aturan istana mengekangmu?"
Charu sedikit menggeleng, "bisa dikatakan seperti itu ... sebetulnya bukan aturan yang mengekang."
"Lalu?" tatap Natsu serius.
Charu merotasi maniknya ke atas, bibirnya yang kecil mengatup, namun bergerak ke kiri ke kanan.
"Permaisuri Wein?" tebak Natsu yang membuat Charu tersenyum.
"Pangeran Haru," lirih Charu yang kemudian ditepis oleh Natsu.
"Berapa kali aku mengatakan padamu, jangan menyebut Haru dengan sebutan pangeran. Dia adalah kakakmu!"
"Tapi dia tak menginginkan itu ... kakakku hanya kau saja, kak Natsu." Senyum Charu mengembang. Diikuti Natsu yang mengacak rambut Charu karena gemas.
"Kau sudah enam belas tahun, dan tingkahmu masih kekanakan."
"Tapi aku sangat dewasa ketika membaur dengan mereka." Pandangan Charu mengedar pada orang-orang yang berlalu-lalang di pasar.
"Juga menjadi seseorang yang menyedihkan saat permaisuri memarahimu." tambah Natsu yang seketika membuat gadis berambut lurus tersebut mengerling kesal.
***
Setibanya di istana, Charu gegas menuju kamar Haru untuk mengobatinya, seperti yang selalu ia lakukan delapan tahun belakangan. Tiap kali Haru sakit, Charu selalu dibutuhkan untuk kesembuhannya. Charu yang tak pernah dianggap oleh Haru, masih saja bersikap baik pada kakak laki-lakinya setiap kali Haru perlu diobati oleh Charu.