****
"Apa? Menunggang kuda ke bukit? Aku tidak mau, kak!"
Ya, setelah kembali dari kamar Haru, Natsu menghampiri Charu yang berada di istana Ratu guna membujuk adik Haru tersebut untuk bergabung dengannya menuruti kemauan Haru. "Haru menerimamu, dan kau menolak?"
Charu melipat kedua lengannya di depan dada, "apa untungnya jika aku ikut pergi berkuda bersamamu? Lagipula, aku sudah tak memperdulikan lagi sikap pangeran Haru padaku."
Natsu tersenyum tipis, seraya kembali meyakinkan Charu. "Paman Phau pernah berpesan padamu bukan? Bahwa, kau harus menjadi obat untuk sakitnya."
"Kau benar, dan mengobatinya hanya jika di istana saja." jawab Charu, "lantas, bagaimana jika ia mengetahui jika selama ini yang mengobatinya bukanlah bibi Darlie, melainkan orang yang paling dia benci." Raut wajahnya berubah suram seketika.
"Selama Haru sakit, ia selalu terpejam. Seolah tengah tertidur pulas dan tak mengingat ataupun mendengar suara apapun disekitarnya."
Charu berpikir sejenak. Penyakit Haru sangatlah aneh. Saat baik-baik saja, ia terlihat seperti singa gurun. Begitu penyakitnya kambuh, ia terlihat seperti orang yang sedang amnesia. Dan juga penyebabnya, Charu masih ingin meneliti lebih lanjut. "Aku memiliki banyak janji pada orang-orang di desa. Mereka pasti sangat menunggu kedatanganku. Aku tak ingin mengecewakan mereka yang meletakkan kepercayaan penuh terhadapku."
"Begitupun denganku, Shin yu."
"Kakak!!" Charu melotot akibat Natsu memanggilnya dengan nama itu.
"Aku akan mengurus warga desa. Jadi, besok pagi kau bisa bergabung denganku dan Haru. Mengerti!?"
Charu mengerucutkan bibirnya, "aku yakin pangeran Haru akan baik-baik saja selama berkuda. Aku berani menjamin itu, kak."
Natsu hanya tersenyum pada Charu, lalu bergegas pergi untuk mengurus warga desa sesuai yang ia janjikan pada Charu.
***
Diantara sekian banyak penghuni istana, Permaisuri Wein adalah satu-satunya anggota yang paling sibuk sepanjang hari. Kesibukannya itu bukan karena tugas kepengurusan istana. Melainkan negosiasi yang selalu gagal ia ajukan pada ibu suri.
Negosiasi apakah itu?
Tudak, kali ini ia tak lagi membujuk ibu suri untuk menanggalkan jabatan, melainkan misi lain. Dan kali ini ia tak boleh gagal. "Yang mulia, izinkan saya menyampaikan sesuatu."
"Apa lagi, aku tak mau mendengarkan hal yang sama setiap kali kau berkunjung ke kamarku! Aku tak akan patuh dengan siapapun. Apa kau mengerti!?" Ibu suri menggunakan segenap tenaganya untuk memarahi Wein. Suaranya yang bergetar, membuat pelayanannya sedikit khawatir.
"Bukan, Yang Mulia ... aku tak akan membahas hal itu lagi. Aku justru ingin menyampaikan sesuatu yang menjadi amanat putramu." Wein mengatur intonasinya menjadi sangat lembut.
Ibu Suri hanya memalingkan wajah tak perduli.
Wein kembali mendekati mertuanya itu dengan sikap halus, "Yang Mulia ... mendiang Raja adalah teman baik dari Raja Chang. Selama hidupnya, ia selalu melakukan pertemuan terbuka maupun pribadi pada temannya itu. Aku rasa kau juga mengetahuinya ... Yang mulia, tidak ada salahnya jika kita pergi untuk berkunjung ke Waji. Lagipula, sudah lama kami tidak melakukan tradisi itu sejak mendiang Raja pergi."
Perkataan Wein tersebut didasari atas kepentingan pribadinya, dan sama sekali tak berniat untuk menyambung solidaritas Raja Gin seperti yang ia sampaikan pada Ibu suri.
"Aku rasa tidak perlu ... mereka sudah melupakan Sora. Untuk apa membangun relasi kepada Chang!?" sahut Ibu Suri dengan nada kesal.