Hujan tak kunjung reda hingga hari menuju petang. Pak kusir yang ditugaskan untuk menjemput mereka telah tiba di depan kediaman paman Phau dan bibi Darlie.
"Sayang sekali, harusnya putri Charu menikmati waktunya untuk ke pantai." celetuk Darlie.
"Tidak masalah ... aku baik-baik saja, bi." Charu kemudian menatap Darlie dengan serius, "bi, apa batu yang kau lihat tadi bentuknya seperti telur?" Charu hanya ingin memastikan apakah batu tersebut benar-benar sudah terpecah karenanya.
"Iya seperti telur. Batu itu banyak ditemukan di tepi pantai." jawab Darlie dengan enteng.
"Ada banyak retakan bukan?"
Darlie menggeleng, "tidak ... batunya halus seperti keramik. Ada apa?"
"Tidak ... maksudku, itu memiliki pola yang unik dan terlihat seperti sebuah retakan." Meski Charu sedikit gugup, namum akhirnya ia bernafas lega karena ia tidak benar-benar menghancurkan temuan milik putri Darlie.
Setelah melaju dua puluh menit tanpa hambatan, mereka akhirnya sampai di istana.
Charu langsung menuju ke kediamannya yang kini terletak di antara kamar-kamar wanita kerajaan. Bukan kamar yang pertama kali ia temui saat usianya masih delapan. Tubuh Charu sangat penat, esok hari ia harus pergi menemani kedua kakaknya berkuda.
***
Saat yang ditunggu tiba. Natsu, Haru dan Charu bersiap dengan tunggangan mereka masing-masing. Beserta dua pengawal, mereka menuju bukit Eiryu yang indah untuk berkuda.
Haru memimpin dimuka, disusul Natsu, kemudian Charu. Charu sengaja menempatkan dirinya dibarisan paling belakang sebelum dua pengawal yang berjarak lumayan. Hal itu ia lakukan tak lain demi menghindari Haru. Sungguh, jikalau bukan karena Natsu, Charu tak akan mau turut serta rombongan.
Sekalipun iming-iming emas berlian satu bukit.
"Sikapnya begitu ketus ... lihatlah bagaimana cara ia menatapku tadi." Charu mendumel di belakang Natsu. Kuda yang ia tunggangi melaju stabil cenderung lambat. "Ya tuhan ... entah sampai kapan aku harus menjadi abdi pada seseorang yang tidak tahu terima kasih?" Charu terus menggerutu meski tak ada yang mendengarnya.
Meski menggerutu, namun akhirnya mereka sampai di kaki bukit Eiryu. Benar, bukit Eiryu memang pantas dinobatkan sebagai arena berkuda yang cantik. Pemandangan yang terbentang di depan mata mereka sungguh luar biasa. Bukit yang hijau dan terjal itu membentang luas, dengan jalan setapak yang berkelok-kelok menuju puncak. Udara yang segar dan sejuk menyambut mereka, membawa aroma bunga liar yang harum. Kuda mereka serempak berhenti.
Charu menarik sedikit tali kekang supaya kuda miliknya mendekati Natsu. Sementara Haru berusaha menghindari Charu dengan mengelilingi arena tersebut sekedar pemanasan. Charu tidak mempermasalahkan sikap Haru yang selalu seperti itu.