"Tidak ada!! Gadis itu tidak ada di kamar maupun tempat manapun di istana!" tegas Permaisuri Wein setelah memeriksa Charu dari tempatnya.
Ibu Suri dan tabib Darlie semakin terlihat gusar. Sementara selir Daini yang berada di sisi kiri Natsu nampak tenang dan biasa biasa saja. "Kenapa harus panik? Charu bukanlah dewa yang bisa memberi kesembuhan." Ia melirik pada Darlie yang menatap ke arahnya, "bukankah selama ini kau adalah tabib yang paling bisa diandalkan, Darlie?"
Darlie tak berani menjawab. Membiarkan ibu Suri yang menunjukkan otoritasnya. "Ini bukan tentang siapa yang lebih senior, Daini. Tapi setiap kali anak itu berada di dekat Haru, energi kesembuhan seolah memancar deras. Aku yakin, jika pengetahuan anak itu diasah dengan keras ... semua teka-teki ini akan terjawab."
"Tapi anak itu tidak ada di tempatnya ... bagaimana bisa dia pergi semaunya saat keadaan seperti ini." Wein berusaha menunjukkan sisi baik seorang ibu tiri pada Haru.
"Jangan mengatakan apapun lagi ... lebih baik segera siapkan ritual gerhana untuk malam nanti!" ujar ibu suri dengan kasar. Wein tak berani membantah, meski demikian ia tetap menunjukkan gelagat kesalnya pada wanita tua itu saat berjalan di koridor luar.
"Ada apa, bibi Wein?" sapa Natsu yang berapapasan dengannya.
"Anak itu benar-benar menyusahkan!" umpatnya. Entah untuk Charu ataukah Haru. "Natsu, apa kau mengetahui dimana anak itu?"
Anak itu? Natsu bisa menebak jika julukan itu pasti pemiliknya adalah Charu. "Sejak pagi aku belum melihatnya, bibi. Apa sesuatu sedang terjadi?" Natsu menjadi panik.
"Tidak ... hanya saja ibu Suri menginginkan anak itu. Ya, aku masih memiliki banyak urusan ... sampai jumpa, Natsu."
Natsu menunduk hormat. Sambil memandangi bibi Wein, hatinya bertanya-tanya. Dimanakah Charu saat ini? Apa benar, ia sedang ...
***
Sementara itu di kaki bukit Eiryu, Charu dan kuda coklatnya sedang menyusuri jalan setapak menuju pintu gua ajaib yang hanya dirinya yang tahu.
Mula-mula ia harus sampai di bawah pohon pinus terlebih dahulu seperti waktu itu. Ya, harus seperti waktu pertama kali ia menemani Haru dan Natsu di tempat ini. Charu memandangi sekitar sebelum akhirnya turun lalu mengikat kuda itu pada batang pohon pinus yang berdiri kokoh.
Lalu, untuk masuk ke dalam gua itu ... apakah ia harus tertidur? Charu menggeleng kuat. Itu hanya akan membuang waktu bukan? Bagaimana jika ternyata ia tidak bisa tertidur dalam waktu yang cukup lama.
Beberapa pertanyaan itu membuat Charu semakin dihantui perasaan ragu. Baginya ini bukan hanya pertempuran menaklukkan gua ajaib, melainkan sebuah pertempuran melawan ketakutan dan keraguannya sendiri.
Charu memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju semak belukar yang sedikit menutupi jalan setapak. Langkahnya nyaris tak terdengar. Suara pijakan dari sol sepatu kulit itu seolah nyaris tenggelam ke dalam permukaan tebal dedaunan yang bercampur semak. Sunyi, hanya suara hati dan detak jantungnya yang memandu. Charu sangat berhati-hati.
Kepalanya memutar cepat kala sebuah daun kering jatuh tertiup angin. Takut sesuatu tengah menguntitnya, dengan berani ia mengeluarkan pedang dari selongsongnya. Pedang itu adalah pedang yang berhasil ia ambil dari kamar Natsu secara diam-diam. Charu kembali memasukkan pedang ke dalam selongsongnya kala menyadari tak apapun yang mengancamnya. Ia kembali melangkah, namun kali ini langkahnnya nampak begitu berat.
Bukan tanaman rambat maupun semak belukar yang menahannya, tetapi liontin itu seolah menjelma menjadi beban berat yang membelenggu lehernya tiap kali ia berusaha menggerakkan kakinya. Benda perak itu seolah mengerti sesuatu. Entah tanda bahaya kah atau sebuah desakan, Charu tak mengerti mengapa benda itu tiba-tiba saja bergerak setelah sekian lama. Bahkan temponya kain keras dan terasa berat.
Kau pasti bisa, Charu! Hatinya memekik. Namun ...