Namanya Ratri, seorang mahasiswi internasional dari Indonesia yang berusia 25 tahun dengan perawakan yang kecil dibandingkan orang-orang India. Di Kyoto, dia terkenal dengan gummy smilenya atau kalau tidak begitu dengan grilled chickennya, setidaknya itu adalah jawaban ketika kalian bertanya kepada mahasiswa internasional di seluruh Kyoto. Bermula dari insting manusianya untuk bertahan hidup sendirian di Jepang, membuat dia hampir setiap hari meracik bumbu ayam bakar. Kenapa ayam? Karena daging sapi halal sangat mahal di Jepang sekitar 1800 yen untuk 500g, dan itupun daging slice yang biasanya digunakan untuk membuat untuk shabu-shabu bukan untuk grilling. Selain itu, juga tidak ada daging lainnya di Gyemo, supermarket di Jepang yang banyak menyediakan bahan halal.
Lalu, apa dia bisa terkenal hanya karena itu saja? Tentu saja tidak,
Dia stay di Ihouse (Internasional House) yang merupakan dorm dari kampus dan disediakan untuk seluruh mahasiswa internasional agar tidak mengalami cultural shock setelah mereka sampai di Jepang. Tujuan lainnya adalah pertukaran budaya semua penghuni Ihouse. Alasan kedua adalah yang menjadikan grilled chickennya terkenal.
Ihouse adalah sebuah Gedung berwarna abu-abu terdiri dari 5 lantai yang baru saja didirikan tahun 2012. Hanya ada sebuah bukit kecil yang dilewati commuter route yang memisahkan Gedung ini dengan kampus utama. Commuter route sendiri merupakan tangga turun dan naik yang terdiri dari 300 anak tangga dan hanya bisa diakses menggunakan kartu mahasiswa yang sudah terdaftar sebagai penghuni Ihouse. Jadi setiap harinya ada sekitar 20 mahasiswa internasional yang melewati commuter route tersebut untuk pergi ke Kampus utama. Setiap lantai mempunyai satu dapur yang berisi 3 kompor listrik, kursi dan bangku untuk makan serta TV big screen yang hanya memutar stasiun TV Jepang, common space, 10 kamar di sayap kanan dan 10 kamar di sayap kiri serta kamar mandi. Lantai pertama dan kedua dikhususkan untuk laki-laki, sedangkan sayap kanan lantai 3 untuk wanita dan sayap kiri untuk lelaki. Lantai khusus wanita dan laki-laki dilarang masuk adalah lantai 4. Sedangkan lantai paling atas, dikhususkan untuk mahasiswa yang menginginkan kamar mandi di dalam dan mempunyai uang lebih untuk membayar sewa. Basically, lantai ini hanya untuk mahasiswa kaya. Ihouse adalah tempat tinggal sementara bagi mahasiswa internasional dan penghuninya berasal dari berbagai belahan dunia. Dan mereka suka party.
Saturday Party.
Seluruh penghuni Ihouse sangat familiar dengan event ini. RM atau room mentor biasanya menyebarkan pamphlet tentang party ini yang diselipkan disetiap pintu kamar setiap jumat malam.
“You got that pamphlet?” tanya Shanti tiba-tiba muncul tanpa mengetuk pintu kamar 304, kamar Ratri. “Aku enggak ngerti ini kenapa setiap sabtu selalu ada party, kita kesini untuk belajar, bukan untuk party.” Cerocosnya, menyelonong masuk dan duduk di ranjang Ratri.
Shanti sendiri adalah teman terdekat Ratri. Dia tinggal di kamar No. 311 yang tepat berada di depan kamar Ratri di lantai 3. Dia seorang wanita India, tepatnya di daerah Tamil dan tidak bisa berbicara Urdu ataupun Hindi, cukup mengherankan tapi memang seperti itulah kenyataannya. Tapi jangan berharap dia seperti wanita India kebanyakan, karena hidup di Australia 6 tahun bisa mengubah kepribadian seseorang. Dia mempunyai tubuh yang sangat curvy, dengan rambut Panjang bergelombang seperti istrinya Nick Jonas tapi sangat insecure dengan tubuhnya. Orang yang sangat blak-blakkan dan tidak mempunyai saringan ketika berbicara, tapi sangat loyal terhadap temannya.
Ratri melipat sajadahnya sambil mendesah dan meletakkannya di atas meja belajarnya. Another party? Jiwa introvertnya berontak. Semester baru sudah membuat dia sangat kewalahan dengan kegiatan researchnya kenapa harus ada party yang lebih menguras tenaga dibandingkan studynya itu? Pikirnya. Aku harus ketemu senseiku besok senin pagi, ada tugas mikro dan ekonometri yang belum terjamah diskusi dengan beberapa temannya, ah, dia mendesah lagi. Dia benar-benar tidak mengira dia benar-benar membenci party.
“Kau tahu, kali ini mereka akan membeli sake. Kau tertarik mencobanya?”
“Kamu mau?” Ratri duduk di meja belajarnya dan menatap Shanti tidak bersemangat. “Aku tidak suka sake,” gerutunya karena menjelaskan kenapa muslim tidak boleh meminum alchohol lebih rumit daripada berkata jika dia tidak suka. Karena di Ihouse, dia adalah satu-satunya muslim yang memakai hijab. Sudah cukup ratusan pertanyaan dilayangkan kepada Ratri terkait hijabnya, cukup itu saja. Tidak untuk hal-hal muslim yang lain.
“Kamu sudah mencoba sebelumnya?” mata Shanti membuka, sedikit terkejut. Ratri menggeleng lemah. “Aku ingin stay di lab saja, aku tidak mau ikut party kali ini.”
“Lalu aku jawab apa kalau mereka tanya? Shanti is doing research in the Lab, even in Saturday night. Begitu?” Ratri mengalihkan matanya ke laptopnya dan menekan tombol on. Tidak lama kemudian layar laptopnya muncul simbol hp dan terdengar suara detik satu kali. “Lihat ini, ini adalah list to do-ku yang harus aku selesaikan kali ini. Aku belum mengirimkan artikel untuk majalah, juga, hash.” Dia memperlihatkan sticky notes yang ada di layar laptopnya.
“Tapi tidak enak jika kita tidak datang, semua RM sudah sangat baik. You know that right? Mereka berkata akan ada game setelahnya, terus karaoke dan pool, jika kita tidak datang akan ehm…. Bagaimana rasanya…. Bagaimana jika mereka tidak membantu kita setelah ini?” Shanti menarik kursi Ratri ke arahnya.
“Mereka dibayar untuk membantu kita, you don’t know that?” Ratri membalikkan kalimat Shanti. Mereka terdiam beberapa saat kemudian, “Kamu mau masak apa kali ini?” Tanya Ratri akhirnya setelah memikirkan beberapa kemungkinan untuk tidak ikut party dan sepertinya tidak akan berhasil.
“Vegetable briyani, mungkin.” Jawabnya. “Kau?”
“Grilled Chicken, as always, I am Indonesian, what you expect?” Jawab Ratri.
Jadi begitulah, Grilled Chicken Ratri menjadi terkenal dari mulut ke mulut, dari satu party ke party lainnya, dari satu negara ke negara lainnya.
Sebenarnya party di Ihouse tidak separah yang seperti kalian bayangkan. Party disini diawali dengan masak bersama di masing-masing lantai lalu kami akan berkumpul di salah satu lantai – biasanya bergiliran – dan mulai makan bersama tepat pukul 7. Karena penghuni Ihouse sendiri berasal dari berbagai belahan dunia, jadi masakan yang dihidangkan juga berasal dari berbagai negara. Selain itu, biasanya ada snack dan alchohol serta ginger ale atau cola. Party ini sangat berwarna-warni, semua jenis warna kulit ada disana, mulai dari yang putih pucat sampai hitam kelam. Semua jenis dan warna rambut juga ada, mulai dari merah menyala, keriting, hitam lurus, sampai blonde. Semua warna mata juga ada, mulai dari hijau, biru, merah, coklat dan hitam. Warna-warni. Party hanya akan berhenti ketika mahasiswa terakhir tertidur.
Ratri yang orang jawa tulen pada awalnya sangat bersemangat mencicipi seluruh makanan dari berbagai negara, akan tetapi sejalannya waktu ada beberapa makanan yang bisa dia makan dan tidak bisa dia makan, ditambah lagi dia seorang muslim dan tidak semua orang di Ihouse mengenal muslim. Ratri sendiri, selalu menghilang ditengah acara. Bukan karena ada sesuatu yang harus dia kerjakan, tapi karena terkadang kepalanya pusing – terlalu banyak orang berbicara bersamaan dan dia belum terbiasa melihat orang mabuk.
Bagaimana cara dia melarikan diri?
Tenang saja, ada Rumi.
Rumi adalah jalan keluarnya, ketika Ratri ingin melarikan diri dari sesuatu. Dari acara yang tidak ingin dia datangi, sampai dari seseorang yang tidak ingin dia ajak bicara. Di party itu biasanya ada adat minum alkhohol dan mabuk, setelah itu berdansa di lantai satu dan berkaraoke Bersama – yang sebenarnya tidak pernah Ratri lakukan di Indonesia. Ratri selalu meminta Rumi untuk menelponnya hanya untuk menyelamatkannya dari situasi tersebut. Dan biasanya pula, Dia berkata kepada mereka jika my friend is calling and I need to go to my room – dan setelahnya menghilang.
Ratri seorang introvert parah dan Rumi biasanya menyinggung hal ini, “So I am your golden ticket nah,” ucapnya sambal tertawa. “Bilang saja pada mereka kalau ini bukan budayamu, dan kamu merasa tidak nyaman melihat orang-orang mabuk. Aku yakin mereka pasti mengerti, begitu kok repot si ma,”.
Rumi sendiri adalah teman terbaiknya sejak Ratri umur 12 tahun. Persahabatan mereka berawal dari ketika Ratri hampir kehilangan nyawanya di kolam renang saat itu dan Rumi-lah yang menyelamatkannya. Rumi mempunyai wajah yang sedikit bundar dan mata yang bundar. Hidungnya besar dan senyumnya seperti RM – salah satu anggota BTS. Dia sekarang sedang menempuh master di German setelah berhasil mendapatkan surat tugas belajar dari institusi dimana dia bekerja.
Ratri terdiam, sebenarnya dia sudah memikirkan hal tersebut jauh sebelum dia meminta Rumi untuk menelponnya. Tapi Ratri sadar dia sedang berada di Ihouse yang sebenarnya orang-orang disini memang diharapkan untuk bisa saling mengenal satu sama lainnya. “Udah, jangan dipikir. Aku bisa kok nelponmu tiap hari kaya gini. Ini Namanya juga menyambung silaturahmi,” kata Rumi menyadarkan diamnya Ratri.
“Mungkin juga,” Ratri mengangguk berkali-kali mengiyakan. “Thank you for understanding me,”
“Jangan khawatir ah, jangan terlalu formal-formal begitu. Kita udah berapa tahun juga temenan,”
“Tapi aku beneran ketika aku bilang makasih lhoh,”
“I don’t need any effort to understand you, jadi ya enggak perlu-lah ucapin makasih.”
“Tetap saja atuh, setiap usaha pasti ada returnnya. Dan setiap aku minta tolong ke dirimu, pasti dirimu bisa dan sebagai returnnya aku bilang makasih,” kataku dengan senyum.
“Aku bisa minta return yang lainnya kah?”
“Okay, I will cook you my grilled chicken pas aku udah balik ke indo,” dan biasanya begitulah percakapan mereka.
Rumi adalah dokter personal Ratri yang bisa dia telpon 24 jam. Terlebih ketika Ratri berada pada masa-masa sulit. Dia biasanya mendengarkan Ratri dengan seksama, tidak menasehatinya atau hanya menatap matanya lekat-lekat. Dan bagi Ratri itu sudah cukup, Ratri hanya butuh teman seperti itu. Tanpa penghakiman, dan memberikan nasehat dan saran ketika Ratri memerlukan.