Kurasa hidupku baru dimulai di hari aku bertemu Cherwoni, tepatnya di hari kelima percobaan membolos kelas.
Jika pembaca bertanya mengapa aku membolos? Itu karena semua anak terlahir untuk mengecewakan orang tuanya, betul bukan?
Lalu mengapa dikatakan percobaan membolos kelas? Itu karena pada dasarnya tidak ada siswa yang langsung menjadi biang onar di hari pertama sekolah. Predikat murid bermasalah adalah hasil jerih payah trial and error yang berulang-ulang, yang akan membuahkan keberhasilan dalam membangkang dari peraturan jika tekun dilakukan.
Biasanya, percobaan pertama mempunyai peluang berhasil yang sangat kecil. Keringat mengucur deras dari pelipis bahkan telapak tangan pun mulai terasa licin. Rasa tidak nyaman untuk mengangkat tangan itu, ditambah dengan kegaduhan detak jantung bagai berada di lomba pacuan kuda. Adrenalin yang telah sampai ke ubun-ubun mematikan segala kemampuan bertata krama, karena dengan panik kaki ini akan berdiri. Pembuluh darah di wajah mendidih seraya seluruh pasang mata di kelas menatap. Apa yang kamu lakukan, bodoh? Cepat duduk kembali. Olokan mereka dapat terdengar jelas dalam pikiran, ingin membalas mengumpat namun lidah terasa kelu, hingga sia-sialah waktu semalaman dihabiskan untuk mencari alasan keluar kelas, dan bolak balik reka kejadian yang diputar di kepala hingga mata tak bisa terpejam.
Saat itu kepanikan akan menyergap. Hanya satu jalan keluar yang terpikirkan. Kabur.
Tanpa berpikir akan konsekuensinya, kaki akan terbirit keluar dari kelas, dan ketika kembali, sambutan pertama adalah cekikikan teman sekelas dan celetukan “sudah kebelet banget ya!”
Aku tidak berkata semua ini adalah kejadian yang aku alami, hanya saja hal-hal ini mungkin terjadi pada seorang pemula.
Pada hari kelima, mustahil untukku melakukan kesalahan pemula.
Ketika melirik pada jam dinding, waktu menunjuk pukul setengah dua siang. Raut wajah teman-teman sekelas menyiratkan hawa kantuk telah menerpa, aku memastikannya setelah mengedarkan pandangan sesaat. Pastinya mereka tidak akan peduli akan hal yang terjadi setelah ini.
Tanpa sadar, aku mengetukkan jari pada meja, menatap tajam punggung Bu Irma. Dia seorang guru matematika. Sudah dari lima belas menit yang lalu dia menyelesaikan enam soal algoritma di papan tulis. Aku menunggu the perfect timing. Waktu untuk menginterupsi tanpa mengundang rasa curiga.
Dalam sedetik pundak Bu Irma bergerak naik lalu turun, gerakan menghela napas. Pastinya sekarang dia sedang merasa lega dan puas setelah menyelesaikan soal dengan baik. Momen penuh dopamin dan minim kecurigaan ini tidak akan kusia-siakan. Aku segera mengacungkan tangan tepat setelah Bu Irma meletakkan spidol, lalu berbalik, hendak kembali ke mejanya untuk duduk.
“Ya, Rendy?” tanya Bu Irma.
Tanpa menjawab, aku berdiri lalu berjalan mendekati Bu Irma. Perlahan, sambil sesekali memegangi kepala dan sesekali merintih.
Dengan menatap mata Bu Irma, aku memelas, “bolehkah saya pergi ke UKS, Bu? Kepala saya sakit.”