Cherwoni

Lindaw
Chapter #2

#2

Boo...” Sebuah suara keluar dari bibir gadis pemilik satu bola mata berwarna merah. 

Otakku menangkap suara itu, memproses situasi, lalu menyodorkan beberapa arti dari suara itu. Dia ingin menakut-nakutiku? Tapi mengapa wajahnya datar. Dia lebih terlihat menggemaskan daripada menakutkan. Atau mungkin dia seorang tuna rungu, jadi pelafalannya tidak biasa.

Melihatku yang terpaku, masih memproses, gadis itu berkomentar, “harusnya sekarang kamu berlari.”

“Kenapa aku harus berlari? Tidak mau,” balasku.

Kedua alis gadis itu terpaut. Tanpa menghiraukan raut kesalnya, aku berjalan mendekatinya, lalu duduk bersila di sebelahnya. 

“Kepalaku sedang sakit. Jadi aku mau istirahat disini hari ini,” lanjutku sambil melayangkan pandangan ke arah padang ilalang. Rasa penasaranku sangat besar, tapi aku memaksakan diriku untuk melihat ke tempat lain. Aku ingin memberi kesan pertama yang baik.

“Kau bohong,” tepisnya.

“Apa?” Aku jadi menoleh kepadanya, karena menerima jawaban yang tidak kuduga.

Wajahnya yang datar sesaat berubah panik. “Maksudku … jika kamu sakit ... seharusnya kamu berada di UKS.”

“Oh… Tadi aku sudah kesana dan ternyata tempat tidurnya penuh. Jadi aku hanya meminta obat, lalu aku memutuskan untuk pergi kesini.” Sesaat aku merasa bangga pada diriku yang telah lancar mengeluarkan alibi.

Dia kembali mengernyit, lalu memalingkan wajah. “Kau bohong lagi,” gumamnya. 

Aku menahan napas. “Oke. Aku menyerah. Aku memang berbohong. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku dapat melihatnya.”

“Maksudmu aktingku payah?”

Gadis itu menggeleng, rambut ikalnya melambai, tertiup angin. 

“Alasanku terlalu berbelit-belit? Cara bicaraku kurang meyakinkan? Pasti itu yang membuatku ketahuan ‘kan.” 

Tapi dia tetap menggeleng.

“Kalau bukan itu, berarti matamu terlalu jeli. Bahkan lebih jeli dari guru.” Aku mendengus. “Padahal aku baru saja berhasil mengecoh Bu Irma. Kau menyebalkan juga.” 

Bibir gadis itu melengkung sedikit ke atas, untuk sesaat. “Dan kau orang aneh.”

Senyumannya menular padaku. 

“Bukan kau. Tapi Rendy. Namaku Rendy. Namamu… Cherwoni?” ujarku sambil membaca badge name yang melekat pada kaos olahraganya. Namanya kuucapkan dengan huruf c seperti menyebut kata cherry

Tiba-tiba Cherwoni mendesis seperti ular. “Ssshh.. Cher.. Cherwoni,” dia mengeja suku depan namanya dengan konsonan s.

“Ah…” Aku melingkarkan ibu jari dan jempolku, membuat tanda oke lalu mengulangi cara bicaranya. “Oke, Sshh Cherwoni.” 

Cherwoni sekali lagi terlihat kesal. “Kau sedang mengejekku?” 

"Tidak. Tidak.” kataku sambil mengangkat tangan, tanda menyerah. Aku perlu membuatnya menyukaiku agar kita dapat terus berbicara, dan aku dapat terus bertanya.

Lihat selengkapnya