Rumahku terletak persis di belakang jalan raya Kertajaya. Jangan salah. Meski berlokasi dekat dengan pusat kota area Surabaya timur, tidak berarti aku dapat seenaknya menghabiskan waktu santai di cafe-cafe atau berpetualang ke setiap sudut kuliner.
Setiap orang di rumah diwajibkan menjadi penganut pola makan sehat. Tradisi (kutukan) turun temurun dari nenek moyang keluarga Papa. Makanan sehat yang dimaksud adalah setiap makanan yang bebas dari minyak jenuh, pestisida, MSG, pengawet, debu, dan keringat para pedagang kaki lima. Memang terdengar sehat, tapi nyatanya dapat membunuh. Kali pertama aku mencicipi sebuah kerupuk putih aku hampir mati!
Reaksi tubuhku yang perawan tulen atas setiap zat-zat berbahaya sangat tidak bersahabat. Aku ingat betul, saat outbond kelas satu SD, hari dimana temanku dengan polosnya mengestafetkan sebuah kerupuk putih kepadaku saat makan siang. Kenikmatan saat gigi ini menghancurkan benda renyah yang segera lumer ketika sampai ke lidah, aku mengira aku berada di surga. Tetapi tidak lama kemudian, sore itu juga perutku memprotes hebat. Dalam tenda semua teman gaduh karena aku menggelepar di tanah sambil mengerang kesakitan. Malam harinya aku dipulangkan ke rumah karena mulai demam.
Setelah kejadian itu, aku tidak menghindari kerupuk atau makanan tidak sehat lainnya, meski aku bisa saja mati. It's the food to die for, pikirku. Jika ada satu hal yang membuatku menyukai sekolah, itu adalah mie instan yang dijual di kantin sekolah. Sebuah kemewahan yang tidak akan pernah kudapat di rumah. Sungguh.
***
Tanpa harus membunyikan bel rumah, Mas Ajie -seorang pekerja serabutan di rumah kami- membukakan gerbang rumah. Gerbang besi berwarna hitam dengan aksen emas setinggi dua setengah meter ini dipilih oleh Papa dengan alasan keamanan.
Selagi melangkah masuk, aku mengangguk kecil serta berterima kasih pada Mas Ajie. Angga mengikuti dari belakang.
Setelah melewati gerbang, kami berjalan melewati taman depan yang memiliki sebuah kolam ikan di sudut taman bagian luar, hampir mendekati tembok yang mengelilingi rumah. Kolam itu terlihat seperti ditambahkan dengan paksa pada taman yang sudah didesain dengan teliti. Hasil dari rengekan tanpa henti kami -aku dan kakak perempuanku- dalam meminta hewan peliharaan, selama satu minggu penuh.
Awalnya kami meminta seekor anjing atau kucing. Tapi dijawab dengan "terlalu kotor" dan "bulunya pasti rontok memenuhi rumah". Lalu kami menurunkan standar, dan meminta beberapa ekor burung. Tapi dijawab dengan "hewan itu bau dan membawa banyak penyakit." Oleh karena itu, kami mendapat ikan hias.
Ketika masuk ke rumah, Bi Yem -pembantu rumah tangga kami yang paling tua sekaligus ibu dari Mas Ajie- telah siap menyambutku. Aku segera menyerahkan tas punggung padanya, sambil tak lupa berterima kasih. Para pekerja di rumah sudah tahu jadwal seluruh anggota keluarga di rumah ini.
Kemudian kami menuju ruang dapur bersih. Satu hal yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang pulang: setor muka pada Mama.
Suara Mama terdengar dari ambang pintu dapur bersih. “Iya. Sudah kok… Reza sudah mulai menangani proyek sendiri." Pembicaraannya tentang kakak sulungku, Kak Reza.
"Tidak… pasti tidak akan dilepas sendiri… Iya. Papanya selalu standby… Iya." Mama berjalan dari sudut satu ke sudut lainnya. Aku tahu Mama sedang tegang, karena saat sedang tidak nyaman, gelisah, tegang, atau khawatir, Mama selalu menggigiti kukunya, lebih tepatnya kuku palsunya. Hari ini kuku palsunya berwarna ungu. Setiap hari warnanya selalu berganti.
"Kuliah Dinda baik-baik saja, IPKnya selalu yang tertinggi di angkatannya. Iya... Sekarang anaknya belum pulang." Pembicaraan berlanjut ke kakak keduaku, Kak Dinda.
"Tidak, bukan begitu… memang anaknya banyak kesibukan. Dia jadi sekretaris BEM, lalu dia juga jadi tutor, jadi memang sering pulang terlambat. Tapi khusus hari Dinda lagi di klinik. Memang ada jadwal perawatan di dokter kulit." Kali ini Mama terlihat bangga.