Sebentar-sebentar aku menengok ke belakang. Tapi selalu kosong. Tidak ada yang datang ke ruang angker ini sejak sepuluh menit yang lalu.
Tanpa kusadari aku menghela napas, lalu kembali melayangkan pandangan ke padang ilalang di balik jeruji besi.
Apa mungkin dia datang ke tempat ini pada hari Sabtu kemarin? Kemudian karena tidak menemukanku disini, dia menjadi kecewa dan memutuskan untuk tidak datang lagi.
Kalau saja Sabtu kemarin tidak ada ulangan Biologi, pasti aku akan membolos untuk datang kemari.
Tidak. Dia bilang tidak akan membolos, berarti tidak ada niatan untuk datang kemari.
Tetapi jika ia tetap datang?
Tidak. Jelas-jelas kami tidak berjanji untuk bertemu kembali, jadi dia tidak mungkin kecewa. Bagaimana bisa janjian, jika nomor handphonenya saja aku tak punya.
Handphoneku! Aku merogoh saku celanaku.
Kosong. Handphoneku pasti tertinggal di tas. Bodohnya aku. Satu-satunya alat untuk membunuh waktu gagal kubawa.
Kesimpulannya: pada hari ini, hari Senin, aku berhasil membolos kelas untuk kesekian kalinya, namun mulai kebosanan (dan sedikit kesepian).
Apa aku kembali saja ke kelas?
Ketika mulai bangkit berdiri, seorang pria tua tiba-tiba memasuki ruangan. Aku cukup kaget karena langkah kakinya hampir tak terdengar. Aku mengenali pria itu. Sangat sering melihatnya berlalu lalang di sekitar sekolah. Menyapu daun-daun yang jatuh, menutup dan membuka pagar sekolah, mengobrol dengan para guru, kadang dengan Kepala Sekolah, ia sering juga berada di kantin sekolah, entah apa yang dikerjakannya.
Apa bapak ini akan menyerahkanku pada guru? Ataukah dia akan melayangkan pertanyaan-pertanyaan untuk menginterogasi terlebih dulu? Sedang apa aku disini, apa guru di kelas tahu keberadaanku, siapa namaku, dari kelas berapa. Pertanyaan apa lagi yang bisa ditanyakan?
Dalam waktu yang singkat itu, kepalaku mulai terasa panas memikirkan berbagai jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang kubuat sendiri.
Alih-alih bertanya, sang Pak Tua yang sedang berdiri mematung sambil membawa tumpukan kardus di tangan, malah mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Duh… Kotor sekali ruangan ini," ujar Pak Tua sambil berjalan terus lalu meletakkan tumpukan kardus di tempat yang masih kosong. Dia berlagak seakan-akan tidak melihatku.
Setelah itu, tanpa berkata apa-apa, ia keluar ruangan. Mataku masih mengikutinya sampai ia menuruni tangga. Setelah bapak aneh itu benar-benar pergi, aku terduduk kembali. Lebih bingung dari yang sebelumnya.
Tak perlu waktu lama, kami bertemu kembali di tempat yang sama, dua hari kemudian. Kali ini aku mendengar suara langkah kakinya. Aku menengok sebelum Pak Tua itu sampai ke atas.
Pastinya aku tidak mengetahui kalau itu adalah Pak Tua dari langkah kakinya. Karena Pak Tua itu sendiri berkata, "kau tampak kecewa. Apa kau sedang menunggu seseorang?"
Jawabanku adalah tidak. Tidak kecewa dan tidak menunggu seseorang. Pak Tua itu terkekeh, raut mukanya tidak percaya.
Pak Tua itu membawa sapu, cikrak plastik, dan kemoceng. Sebelum memulai aksinya, ia mengenakan masker kain. Debu-debu berterbangan ketika ia mulai membersihkan kardus-kardus yang entah sudah berapa lama ada disana sampai dapat menghasilkan badai debu di ruangan kecil ini, aku jadi terbatuk-batuk.
"Kenapa Bapak tidak melaporkan saya kepada guru?" tanyaku. Berharap Pawang Debu itu segera menghentikan perbuatannya. Tapi memang betul, dua hari ini hidupku sepi sekali, tidak ada yang tahu perihal aku membolos.
Harapanku terkabul. Tangan Pak Tua itu segera terhenti. Sambil tetap memegang kemoceng ia mengambil sebuah kardus yang terlihat berat lalu meletakkannya di dekatku. Setelah merapikan bajunya ia duduk di atas kardus itu.
Pria ini selalu berpakaian kasual, bukan seragam pekerja sekolah kami, bukan seragam satpam, tapi kaos berwarna gelap dan celana kain hitam. Kaosnya selalu dimasukkan rapi ke dalam dan diikat dengan sabuk hitam. Meski berpakaian tidak formal, tapi Pak Tua ini selalu tampak rapi, bahkan saat menyapu halaman sekolah. Jika diperhatikan dengan seksama rambutnya yang berwarna putih karena uban tampak licin, memberikan kesan bahwa pria ini meluangkan banyak waktu untuk penampilannya.
Pak Tua itu mengangkat bahunya seraya menjawab pertanyaanku, "karena tidak ada untungnya buatku."
Jawabannya cukup masuk akal. Mungkin dia tidak ingin terlibat dalam hal menyusahkan.
Pandangannya menerawang ke luar ruangan. Pak Tua itu menarik maskernya sampai ke dagu, “wah… Pemandangan dari sini bagus juga ternyata. Kau suka ini?”
“Lumayan.” Ah, entah kenapa aku selalu lupa untuk bersikap manis di hadapan Pak Tua ini.