Awak kelabu yang sejak pagi menggantung di langit perlahan mulai undur. Dedaunan pada pohon yang tingginya sampai pada lantai dua gedung sekolah baru, tempat kelas khusus berada, tampak berkilauan berkat pantulan sinar matahari yang terlambat menyapa karena hujan lebat tadi pagi. Sebuah pertanda baik dari langit.
Bu Irma mulai berdiri membelakangi para murid untuk menulis di papan tulis. Kepalanya tertunduk, meneliti tiap soal pada buku paket tebal yang digenggamnya dengan satu tangan, lalu ia menengadah sesaat seolah berpikir. Setengah jam terakhir di setiap kelasnya selalu digunakan untuk membahas beberapa contoh soal tersulit pada buku paket.
Saat Bu Irma mulai menulis, aku melipat tangan di atas meja sambil menggenggam sebuah penghapus karet. Dengan cepat jemariku menyentakan penghapus itu agar terjatuh ke lantai. Jatuhnya sempurna. Tidak ada suara dan letak jatuhnya agak ke belakang. Aku menunduk untuk mengambilnya. Lalu menyelinap keluar kelas lewat pintu belakang.
Aku kembali menyusuri koridor sambil banyak mengucap syukur. Syukur karena cuaca yang baik, tempat duduk di baris belakang, guru yang kurang peka, dan untuk Yobi, anak yang duduk tepat di sebelahku, anak lelaki yang hanya peduli pada pelajarannya. Tidak mengejutkan, karena sebagian besar anak kelas khusus seperti itu.
Berkat cuaca yang baik, kelas olahraga dilakukan seperti biasanya di lapangan basket yang menjadi penghubung gedung baru dan gedung lama. Lapangan ini seakan sebuah transisi dari sebuah kematian kepada sebuah kehidupan. Ironis memang, tapi semua yang bernyawa lebih hidup di gedung lama ketimbang di gedung baru. Desain eksterior yang gagah dengan pilarnya yang dua kali lebih tinggi, interior modern dengan lantai berbalut marmer, ruang kelas berkarpet, dan ruang aula siswa dengan sound system paling lengkap, tidak dapat mencegah kematian perlahan dalam diri para siswa yang bersemayam di gedung baru. Setidaknya pada hari ini kematian tenggang rasa telah terjadi, mengingat Yobi hanya melengos saat melihat penghapusku terjatuh di dekat kursinya.
Aku telah keluar dari gedung lama, sampai pada lapangan basket. Dengan hati-hati untuk tidak menarik perhatian, aku berjalan menyusuri pinggir lapangan. Acara olahraga siang itu adalah pertandingan basket, semua mata tertuju pada tengah lapangan. Melihat kegigihan para siswa yang sedang bertanding dalam permainan bola basket itu membuat sesuatu dalam dadaku tergelitik. Meskipun upaya mereka tidak berdampak sedikitpun pada masa depan mereka, mereka tetap bertanding seakan berada dalam liga NBA. Sibuk men-dribble dengan keren, mengecoh lawan dengan wajah poker, dan saling melempar gertakan.
Seorang anak lelaki yang berada di dekat ring basket berteriak kencang pada temannya yang sedang menggiring bola. Dengan kilat mereka saling berkomunikasi lewat tatapan.
Kau yakin? Kata si Penggiring dengan rambut cepak.
Sangat yakin. Serahkan padaku! Kata si Menjulang dengan paras tampan dan rambut gaya Justin Bieber yang berdiri dekat ring itu.
Sontak bola dioper kepada anak lelaki dekat ring itu, lalu dengan gerakan kilat anak lelaki itu melompat dan melakukan lay up shoot.
Masuk!
Ketika kakinya mendarat, anak yang mirip Justin Bieber itu menyibakkan poninya ke belakang, lalu berlari ke tengah sambil merayakan satu poin yang dicetaknya. Lapangan basket riuh dengan sorakan. Bukan hanya sorak girang tim basket yang membuat goal, tapi juga para siswi yang berdiri di pinggir lapangan. Kegaduhan ini bisa jadi karena anak lelaki itu termasuk golongan anak populer, tapi meski begitu, sorak mereka terdengar seperti kehidupan bagiku.
***
Ada satu anak perempuan yang memilih untuk tidak terlibat dengan kemeriahan yang ada di dalam kelas yang penuh kehidupan itu. Anak perempuan itu, Cherwoni, kini sedang duduk memeluk kedua lututnya di ruang angker tempat kita bertemu minggu lalu. Kepalanya bersandar di atas lututnya, ia sedang tertidur lelap. Aku mendekatinya perlahan untuk duduk diam di sampingnya.
Sambil menunggunya terjaga, aku memikirkan apa yang akan kukatakan padanya ketika ia bangun.
Dari mana saja kamu? Kenapa susah sekali menemukanmu? Maukah kau berteman denganku? Apakah itu sesuatu yang perlu dikatakan kepada teman lawan jenis.
"WAA!" Tiba-tiba Cherwoni berseru dengan keras. Matanya yang tadi tertutup rapat kini mendelik, tangannya terbuka seakan sedang menari tarian Bali.
Kemudian gadis aneh itu memerhatikan wajahku untuk menangkap reaksiku. "Aneh… Kau tidak takut?"
"Aku tidak gampang takut," jawabku. Padahal jantungku berdentam keras. Siapa yang tidak kaget, kurasa kecoa-kecoa di balik tumpukan kardus pun keluar dari persembunyian mereka saking kagetnya.
Cherwoni menyeringai. "Kau berbohong."
Aku terkekeh mengingat betapa sia-sianya kekuatiranku sesaat yang lalu. Rasanya cara berteman yang biasa tidak dapat diterapkan dengan gadis yang satu ini.
"Kau tipe yang tidak bersuara saat takut 'kan?" Tampaknya dia tidak menyerah dalam mencari kelemahanku.