Aku menemukan tempat itu ketika mencari tempat untuk membolos. Tepatnya hari sebelum percobaan membolos yang ketiga. Aku mengitari seluruh pelosok sekolah saat istirahat siang. Tidak ada yang kulewatkan, kecuali makan siangku. Sebab lokasi memainkan peranan yang sangat penting saat membolos.
Jika tempat berlabuhmu tidak tepat, sia-sialah semua usahamu dalam membolos.
Aku mengalaminya sendiri ketika membolos pertama kali, kukira tidur di ruang UKS yang tenang adalah pilihan yang terbaik, namun ternyata ketenangan itu tidak bertahan melewati sepuluh menit. Tepat di menit yang kesepuluh petugas UKS akan menyambangimu, menanyai kondisimu dengan mimik simpatik lalu meninggalkanmu setelah kau meyakinkannya bahwa kau memerlukan lebih banyak waktu untuk istirahat. Sepuluh menit kedepan damai berlangsung. Lalu petugas itu akan kembali menginterupsi tidurmu yang nyenyak. Dan begitu seterusnya, sampai kau akan memilih untuk kembali ke kelas dengan sukarela.
Kali membolos yang berikutnya, aku melakukannya tanpa persiapan yang cukup, jadi aku tidak tahu harus kemana. Akhirnya aku mendekam dalam toilet selama sepuluh menit. Aku menyerah saat tidak tahan lagi mendengar bom berjatuhan yang disusul dengan gas beracun yang terjadi di bilik sebelahku.
Oleh karena itu, di hari itu aku mengelilingi setiap sudut sekolah, sampai menemukan tempat itu. Tempat yang tampaknya sempurna, karena memang terletak paling dalam, jauh dari jangkauan para guru dan siswa. Letaknya persis di sebelah pagar besi sekolah, jika terpergok guru, kau dapat melarikan diri dengan melompati pagar. Setidaknya itu salah satu alasan yang membuatku yakin untuk membolos di tempat itu.
Dengan percaya diri aku mendatangi tempat itu keesokan harinya hanya untuk mundur teratur sebelum dapat menjejakkan kaki di sana. Untungnya aku masih awas, melihat-lihat, memastikan dengan seksama situasi sebelum melangkah. Tempat itu ternyata sudah ada penunggunya. Lain halnya dengan ruang angker dengan penunggu jabang bayi, di sana penunggunya adalah satu geng siswa bermasalah (preman) yang asli. Itu tempat membolos mereka.
Tadinya aku ingin memperingatkan Dora akan bahaya yang menanti. Tapi itu tidaklah mungkin, sebab dia berlari bak seekor kijang yang sedang diburu pemburu, sementara aku sibuk mengejar sang pemburu.
Tak butuh waktu lama, semuanya telah terlambat. Yang kutakutkan terjadi. Dora dengan tidak sengaja menabrak dengan keras salah seorang dari mereka, sampai rokok yang tadinya dihisapnya terjatuh ke tanah.
Anak lelaki bertubuh kurus dan jangkung itu berdecak, lalu berbalik untuk melihat siapa yang menabraknya. Wajahnya menyiratkan kabar buruk.
Ketakutan, tubuh kecil Dora gemetar. Kami seakan sedang melihat seekor kijang yang mati kutu di depan seekor serigala.
"Apa kau tak punya mata?" geramnya. "Lihat apa yang kau perbuat pada rokok terakhirku." Matanya membelalak sampai hampir melompat keluar dari kantongnya yang bengkak dan hitam. Pipinya yang cekung dan rahangnya yang tajam menambah seramnya. Dora terdiam seribu bahasa.
Tiga teman yang lain mulai terbahak. Mereka mengatakan pada si Kurus itu untuk bersikap lebih lembut karena lawannya adalah seorang perempuan. Tetapi tidak dihiraukannya. Kakak kelas kami itu malah mulai mengintimidasi Dora untuk membelikan satu pak rokok yang baru sebagai gantinya.
"Permisi. Kak…," Aku berdeham. Entah kenapa, suaraku terhambat pada kerongkonganku. Tapi aku harus melanjutkan, karena si Kurus itu balik memelototiku sekarang. "Kurasa dia tidak sengaja menabrakmu. Apa kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik." Ini memalukan. Suara yang keluar terdengar seperti suara kelinci yang sedang sekarat.
Dia memiringkan kepalanya. Dalam benakku terlihat seperti tengkorak yang bergoyang-goyang. "Kapan aku menjadi kakakmu?" tanyanya dengan perlahan.
Sekujur tubuhku merinding. Tadinya aku yakin mereka adalah anak kelas tiga karena lagak mereka yang superior, seakan pemilik tempat ini dan segala yang ada di dalamnya, aku cukup yakin mereka kakak kelas kami. Tapi jika bukan, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk membuang harga diriku ke tempat sampah, karena tidak ada artinya lagi.
Saat itu juga Dora menunduk. Tangisnya pecah. Dia telah mencapai ambang batas. Hati kecilku ikut terenyuh. Aku ingin menolongnya, tapi kakiku menolak untuk melangkah. Terlebih ketika sang Bully itu mengulurkan tangannya, hendak menampar Dora atau hanya mencengkram rambutnya untuk melihat mukanya, tidak akan ada yang tahu, sebab tiba-tiba Cherwoni menyela ke tengah-tengah mereka dan menepis tangan si Bully dengan keras.
"Aku minta maaf atas perbuatan temanku. Tapi anak dibawah umur tidak diperbolehkan untuk membeli rokok," tegas Cherwoni sambil menatapnya dengan tajam.
Ia berbalik pada Dora dan berkata, "kita belum selesai bicara," lalu menuntunnya pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam hati aku terkagum pada keberanian Cherwoni, sekaligus membenci diriku yang pengecut. Kenapa aku baru sadar sekarang? Memiliki benda yang menggelantung di antara kakiku tidak serta merta membuatku jantan. Hari ini aku bertekad untuk menumbuhkan kejantananku, entah bagaimana caranya.
Sesuai dengan julukan mereka, para biang onar itu tidak rela melepaskan kami dengan damai. Kini keempat orang itu serentak berdiri. Si Kurus itu memanggil dengan keras, "hei Mata Satu, berhenti sekarang juga!" Lalu ia berlari dan mencengkeram pundak Cherwoni.
Sontak, langkahku terhenti, kakiku mendorongku ke arah mereka tanpa memberi tahu apa yang harus kulakukan. Hatiku telah siap jika hari ini Rendy tinggal nama.
Akan tetapi nyatanya niatku itu tidak dibutuhkan. Dengan sangat cepat. Satu gerakan yang mulus, Cherwoni menangkap tangan kakak kelasnya itu. Menunduk. Lalu berputar ke belakang sampai tangan orang jahat itu terpelintir ke belakang.
Dak! Si Kurus terjatuh ke tanah setelah Cherwoni menendang betisnya dari belakang.
"Lari!" Aba-aba dari Cherwoni membangunkanku yang masih melongo.