Gara-gara insiden pencurian Iphone thirteen itu, setiap lorong kelas kini dipasangi kamera pengawas. Dulunya kamera pengawas hanya ada di gerbang utama dan luar sekolah, sebab ancaman mestinya berasal dari luar, namun sekarang pemikiran konvensional seperti itu tidak berlaku lagi.
Pada akhirnya demi nama baik sekolah, privasi para murid harus dikorbankan. Setiap berjalan masuk atau keluar kelas tanpa sadar mata akan memandang ke arah kamera pengawas dengan bertanya-tanya apakah ada yang sedang mengawasi. Untuk sebuah benda yang menjamin keamanan, kamera ini malah menambah kecemasan.
Oleh sebab itu siang ini aku menunggu jemputan di luar kelas. Meski sinar matahari menyengat tanpa ampun dan tidak ada tempat untuk duduk, aku berdiri di sisi dalam gerbang sekolah. Meski di dalam ruang kelas ada pendingin ruangan dan meja untuk menyandarkan kepala sebentar, aku tetap memilih keamanan daripada kenyamanan.
Kini tidak ada yang cukup berani untuk berada di dalam kelas seorang diri. Tidak ada yang tahu kapan tuyul akan muncul dan melakukan aksinya, kemudian melimpahkan salahnya pada seorang kambing hitam yang malang. Karena makhluk halus tidak akan tertangkap dalam rekaman kamera pengawas bukan?
Sekolah mulai sepi. Tinggal beberapa orang siswa yang memang ada keperluan seperti mengikuti ekstrakulikuler. Tidak seperti biasanya, hari ini aku harus menunggu selama tiga puluh menit seusai jam sekolah berakhir sebab kakak keduaku memerlukan supir kami untuk mengantarnya ke jadwal-perawatan-mendadak di klinik kecantikan.
Aku tidak begitu paham maksudnya. Apa mendadak sebuah jerawat bersemi di wajahnya hingga harus dienyahkan detik ini juga? Seingatku wajah kak Dinda mulus tadi pagi. Atau mungkin ada diskon dadakan yang tak bisa dilewatkan begitu saja? Tidak juga. Papa cukup murah hati soal uang saku anak-anaknya.
Hal apa yang begitu penting sampai mengacaukan jadwal antar-jemput yang telah tertata rapi dan yang telah diterapkan selama ini? Padahal Mama telah menyusunnya (untuk memantau gerak-gerik kami) dengan sempurna karena kami hanya memiliki satu supir. Khusus untuk aku dan kak Dinda, karena kami tidak diperbolehkan menyetir sendiri dan tidak diperbolehkan menggunakan taxi online kecuali jika bersama teman (Angga).
Tadinya aku berencana untuk menggebrak pintu rumah sekeras-kerasnya ketika sampai di rumah, agar kekesalanku terlampiaskan dan Mama mengetahui ketidakadilan yang kualami, tapi mengingat ini pertama kalinya hal ini terjadi, aku mengurungkan niat itu dan memilih untuk mengampuni Kak Dinda.
Tiba-tiba ada getaran pada sakuku. Aku mengeluarkan handphone, sumber getaran itu. Ada pesan dari Kak Dinda. Katanya supir kami telah berangkat menjemputku. Aku membalasnya dengan "kau berhutang padaku". Setelah menekan tombol send, aku menyimpan kembali handphone pada saku.
Ketika melayangkan pandang ke sekitarku, aku melihat seseorang melambai padaku dari jarak yang cukup jauh. Aku memicingkan mata dan melihat orang itu adalah si Pak Tua yang kutemui di ruang angker.
Pak Tua itu berdiri dibawah pohon paling besar di sekolah dengan sebuah sapu taman di tangannya, kelihatannya ia sedang menyapu daun-daun yang berjatuhan. Aku berjalan mendekatinya. Setelah kupikir lagi, seharusnya aku cukup membalas dengan melambai padanya, tapi sudah terlambat untuk berbalik sekarang.
Dengan hormat, aku mengangguk kecil dan menyapanya. Pak Tua itu membalas dengan senyuman.
“Sudah lama tak melihatmu. Rupanya kau sudah tak ke ruang itu lagi?" tanyanya. Dengan kata lain ia sedang memastikan apa aku masih membolos. Aku menjawab dengan tidak menjawab, hanya tertawa kecil.
Pak Tua itu menatapku dalam, seakan sedang membacaku. "Kau telah menemukan yang kau cari?"
"Bisa jadi," jawabku tak pasti, karena sampai sekarang aku belum paham betul apa yang dimaksudkannya.
"Ah… indahnya masa muda." Pak Tua itu menyeringai. Dia mengusap peluh di keningnya dengan lengan baju. Selayang pandang aku dapat melihat telapak tangannya yang kapalan. Penampilannya juga tidak seperti biasanya, mulai semrawut karena cuaca kejam hari ini yang bagai berada di padang gurun.
"Pak. Mohon tunggu sebentar. Saya akan segera kembali," kataku padanya.
Kemudian aku bergegas keluar melalui gerbang sekolah, untuk membeli dua plastik es soda gembira di pedagang kaki lima yang berjualan tepat di depan sekolah. Aku kembali, lalu memberikannya pada Pak Tua. Ia tergelak sambil bertanya apa ini sogokan karena sudah menutup mulut. 'Bisa jadi' jawabku.
Kami minum minuman favoritku bersama-sama, di bawah pohon besar itu sambil berjongkok dan menggenggam plastik minuman dengan erat-erat agar tidak tergelincir jatuh.
"Kau mengingatkanku pada anakku." Pak Tua itu berujar sambil menerawang jauh.
"Anak Bapak juga bersekolah disini?"
"Tidak. Dia bersekolah jauh."
Mungkin ia bersekolah di kampung halamannya. Pikirku.
"Dia mirip sepertimu." Pak Tua melanjutkan. "Selalu ingin tahu. Penasaran pada semua hal."
Aku tak berhenti menyeruput cairan manis berwarna merah muda dalam plastik, sambil mendengarkan ceritanya.
"Jika dilarang, ia akan semakin ingin mencoba. Kepalanya keras seperti batu. Tapi dia bukan orang yang jahat. Dia sangat sayang pada Ibunya."
Aku menangkap nada sedih dalam perkataannya.
"Lalu apa dia berhasil menemukan apa yang dicarinya?" Aku asal bertanya.
"Entahlah. Aku berharap dia menemukannya. Dia jauh, jadi aku tak bisa memastikannya."
"Bapak bisa menelpon atau video call atau melihat dari sosial medianya. Mau kuajari caranya?"
Pak Tua itu tersenyum lemah. "Tak perlu, terima kasih."
"Baiklah. Jika nanti perlu bantuanku, jangan sungkan untuk memanggilku."
Aku merasakan getaran pada sakuku. Aku langsung tahu bahwa jemputanku telah tiba. "Aku harus pulang," gumamku.
Sebelum bangkit berdiri aku menoleh pada Pak Tua itu, hendak mengingatkannya akan satu hal. "Pak, saya rasa untuk saat ini mungkin lebih baik jangan berada di sekitar ruang kelas saat tak ada orang."