Setelah makan malam, aku segera melangkah keluar rumah. Pikirku inspirasi akan cepat datang jika berjalan-jalan di bawah siraman cahaya bulan dan bintang. Dalam hati berharap angin malam akan membisikkan ‘bagaimana cara mengirim pesan pertama pada seorang gadis’.
Bagaimana cara memulainya?
Halo, selamat malam? Tidak. Itu terdengar sangat kaku.
Halo, apa kabar? Tidak, tidak. Aku baru saja bertemu dengannya siang tadi.
Hai, kau sedang apa? Sudah makan malam? Kudengar itu pesan yang biasa dikirim oleh para lelaki. Ah, tunggu. Itu kalimat pamungkas untuk mendekati seorang gadis. Aku menepuk jidat, mematok peringatan kami-hanya-teman di kepalaku keras-keras.
Baiklah. Bagaimana dengan 'Hai, terima kasih sudah mau menjadi temanku?' Oh, ayolah. Berhenti menjadi badut, kau tak lucu lagi dan waktumu hampir habis. Tegurku pada diriku sendiri.
Jam di layar handphone berubah menjadi 18:46. Satu menit telah berlalu dan hanya empat belas menit tersisa sebelum aku harus berangkat ke rumah Laoshi [1]. Dua jam selanjutnya akan kuhabiskan untuk bertarung dengan aksara Mandarin. Seperti yang sudah-sudah, aku tak bisa menjamin kemenanganku, sebab kebanyakan kali aku kalah telak.
Sun Tzu [2] pernah berkata "kenali dirimu dan kenali musuhmu, maka dalam seribu pertempuran akan ada seribu kemenangan". Itu dia. Sumber kekalahanku. Aku tak bisa mengenali aksara goresan tinta itu. Semuanya nampak sama di mataku!
Sebetulnya aku pun tak dapat memahami faedah dari belajar bahasa asing. Toh aku pun tidak akan menjadi notaris untuk orang asing. Hanya untuk perusahaan Papa dan kliennya yang hampir semuanya orang lokal. Tapi Mama berkata ini baik untuk masa depanku, entah apa maksudnya, aku pun tidak bertanya atau menyanggah.
Bukan berarti aku tidak pernah mencoba untuk membangkang. Pernah suatu kali saat SMP, aku muak belajar termasuk muak dengan rentetan kursus yang dijadwalkan Mama. Aku melipat tanganku, duduk di lantai, dan menolak untuk beranjak ke salah satu kursus. Lalu mempertanyakan dengan keras: kenapa harus aku. Mama menjawab karena aku putra keluarga ini. Aku membantah 'aku tidak pernah minta menjadi putra keluarga ini'. Mama balik membentakku, "jadi kamu minta diaborsi? Hah!" Matanya yang mendelik, wajahnya yang membara, dan tangannya yang mengepal terpatri di ingatanku. Seakan Mama sedang mengatakan dengan senang hati akan mengaborsiku saat itu juga.
Setelah kejadian itu aku selalu mengikuti setiap kursus dengan patuh, walaupun aku tidak mempunyai bakat seiota pun di beberapa bidang yang diajarkan. Jadi bisa kubayangkan, setelah pulang nanti, tidak akan ada energi tersisa untuk mengarang pesan pada Cherwoni. Harus. Sekarang.
Beberapa kali aku mengetik pesan lalu menghapusnya. Kemudian aku menengadah sebentar, menengok ke kiri dan ke kanan untuk melemaskan otot pundak yang mulai tegang. Ketika itu aku menangkap sosok seorang gadis berambut panjang berbaju putih yang sedang berdiri di dekat kolam ikan. Aku berjalan mendekatinya, lalu mengintip dari balik pohon bonsai setinggi satu meter, kesayangan Papa.
Ternyata itu cuma Kak Dinda yang sedang mengenakan kardigan putih lengan panjang. Bisa-bisanya dia melakukan jurit malam di halaman depan rumah.
Aku berjalan menghampirinya. Cahaya lampu yang memantul ke permukaan kolam menyinari wajah cantiknya. Gen yang mengalir dalam keluarga kami memang tidak mengecewakan, semua orang di sekeliling kami selalu memuji paras kami sejak kecil. Kadang ada yang terlalu jujur dengan mengatakan Kak Dinda mempunyai paras yang paling menawan di antara saudara-saudaranya yang lain, sedangkan Kak Reza yang paling rendah kadar rupawannya.
Ketika beranjak dewasa opiniku terhadap hal ini terbagi menjadi dua. Di satu sisi: 'komentar yang tidak berguna'. Aku tidak habis pikir mengapa orang dewasa merasa berhak menghakimi anak-anak dari penampilan luar mereka, padahal anak-anak terlahir dengan semuanya itu tanpa persetujuan mereka.