Ada yang berkata kesialan datangnya selalu bertubi-tubi. Tidak sekaligus sebab manusia merupakan ciptaan yang rapuh, tapi silih berganti, hingga Si Sial terdorong sampai mencapai batasnya. Setidaknya ada tiga macam batas: batas kewarasan, batas kesabaran, dan batas kekuatan. Aku tak akan pernah menyangka hari ini aku akan mencapai ujung dari ketiga batasku.
Ketika Pak Guntur, Guru Biologiku, memasuki ruang laboratorium dengan membopong sebuah baskom besar, aku tersadar bahwa kesialan berikutnya sedang menghampiri hidupku. Kesialan dalam rupa sebuah praktikum biologi yang tadinya berusaha kulupakan, namun akhirnya terjadi juga.
Dengan satu tarikan kuat, Pak Guntur mengeluarkan seekor ikan mas dari dalam baskom biru itu, lalu dilemparkannya ke atas meja laboratorium. Ikan yang malang itu menggelepar-gelepar, berusaha menyambung napas namun sia-sia. Pak Guntur mengambil sebuah jarum pentul, dan menusuk kepala ikan tak berdosa itu dengan jarum. Proses yang disebut 'anestesi' ini lebih pantas disebut pembunuhan keji. Sesaat kemudian ikan itu lemas, tak berkutik.
Benar. Kami sedang melakukan praktikum pembedahan ikan mas.
Saat pembedahan dilakukan, aku tak tahu kejadian rincinya, sebab aku sibuk mengalihkan pandang ke lantai, ke langit-langit, dan ke tembok di belakang Pak Guntur. Meski begitu dalam benakku, bayangan lengan kekar Pak Guntur yang mengiris-iris perut ikan terus bermunculan.
Setelah beberapa menit, guru yang lebih cocok menjadi tukang jagal itu selesai mencontohkan praktikum. Aku tak menangkap ekspresi empati sedikit pun di wajahnya. Tak heran ia disebut sebagai guru yang paling garang di sekolah. Semua siswa bermasalah pasti pernah berhadapan dengan Pak Guntur, untuk sebuah sesi pendisiplinan. Entah apa yang dilakukannya dalam sesi itu, tapi kudengar dia cukup menakutkan, bukan hanya karena penampilannya yang mengintimidasi, tapi mulutnya juga pedas.
Saat yang tidak kunantikan akhirnya tiba. Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok, yang terdiri dari empat siswa setiap kelompoknya. Dua orang melakukan pembedahan, dan dua orang lainnya mencatat laporan praktikum. Tentu saja aku langsung menyambar pulpen dan buku.
"Para cewek pasti sudah pintar memotong ikan bukan?" ujarku pada dua teman perempuan yang satu kelompok denganku, agar terbebas dari peran Pembedah.
Ekspresi wajah mereka tampak sangat jijik dan takut. Aku lupa kelas ini penuh dengan putra-putri kerajaan yang tak mungkin pernah menyentuh pisau dapur seumur hidupnya. Benar saja, saat seekor ikan mas -bahan percobaan kami- datang ke meja, tidak ada yang berani mengangkat jarum pentul.
Tidak disangka, penyelamatan datang dari Angga, anggota kelompok kami yang terakhir. Tanpa basa-basi ia menggenggam ikan itu dan memulai pembantaian. Aneh juga, ia tampak sangat ahli dalam menangani ikan yang licin itu.
Mau tidak mau, kali ini aku harus menyaksikan dengan seksama. Aku takut melewatkan hal-hal yang harus dicatat. Tapi aku tetap berusaha untuk tidak menatap mata ikan malang itu. Aku berjuang keras untuk menjaga kelopak mataku agar tidak menutup. Aku berhasil melalui saat-saat horor, seperti saat kepala ikan dilubangi, saat sisiknya dikerat, dan saat anusnya dicoblos lalu digunting ke arah lehernya.
Darah segar menyembur keluar. Angga meminta tissue pada teman sekelompoknya, tapi aku tak bergeming. Salah satu teman perempuan sekelompok kami menjepit tissue diantara jempol dan telunjuknya, memberikannya pada Angga dari jarak yang cukup jauh. Tanpa mengeluh, Angga membersihkan ikan itu sendiri. Aku tak akan heran jika kami bertiga mendapat nilai nol. Praktikum ini lebih pantas disebut praktikum individu, daripada kelompok.
Kepalaku mulai berdenyut-denyut ketika perut ikan dibuka bak membuka kotak pandora. Dalam benakku, aku melihat Cimol sedang berenang ke arahku, dan dia bertanya kenapa aku melakukan ini pada temannya. Kenapa mengorbankan begitu banyak nyawa hanya untuk mempelajari karakteristik Cyprinus carpio? Merasa sangat bersalah, aku tak bisa menjawabnya.
Aku mencapai batasku saat melihat setiap organ dalam dikeluarkan satu per satu. Perutku bergejolak hebat. Tak kuasa menahannya, aku berlari ke kamar mandi sambil menutup mulut dengan tangan, meninggalkan kelompokku. Perih tapi tak berdarah, mie instan yang jadi makan siangku harus kutumpahkan semua ke dalam jamban.
Saat kembali ke ruang laboratorium aku sudah menyiapkan hati untuk menerima omelan dari teman sekelompokku. Namun ternyata sindiran keluar dari Pak Guntur. "Kau muntah hanya karena membelah ikan?" Kumisnya bergoyang-goyang sembari mencibir. "Kau sebut dirimu laki-laki? Mulai besok gantilah celanamu dengan rok!"
Aku berjalan melewatinya, berpura-pura tak mendengar. Padahal aku dapat mendengar dengan jelas Pak Guntur mendengus dan mengomel tentang anak-anak jaman sekarang yang tidak punya nyali dan maskulinitas yang semakin langka. Dia juga menyalahkan perkembangan zaman, negara Korea, dan gadget.
Mendadak aku ingin meninjunya, ingin menyumpahinya, ingin membalas cemoohnya dengan berkata kasar, tapi juga ingin menghilang dari permukaan bumi karena apa yang dikatakannya ada benarnya. Entahlah, perasaanku berubah-ubah dengan sangat cepat. Jadi aku memilih untuk diam.
Saat kembali ke meja, tempat kelompokku berada, mereka sudah menyelesaikan sebagian besar praktikum. Aku meminta maaf pada mereka karena tidak dapat membantu banyak. Tidak seperti guru bak setan itu, teman-temanku bak malaikat. Mereka tidak mempermasalahkan sama sekali.
Bagian yang terburuk dari semuanya ini adalah akhir dari praktikum. Tak berperasaan, badan ikan mas yang sudah tidak berwujud itu dihempaskan begitu saja ke dalam bak sampah. Tak ada pemakaman yang layak, tak ada satupun ucapan terima kasih atas pengorbanannya.
Ingin sekali aku menyumpahi siapa pun yang menciptakan kurikulum bengis ini. Tapi tak ada lagi tenaga yang tersisa. Jadi sebaliknya, aku hanya memohon pada ikan mas itu agar tidak mendatangiku dalam mimpi nanti malam.
***
“Bu. Bu Irma,” seorang teman sekelasku memanggil Bu Irma untuk kesekian kalinya. Bu Irma tampaknya sedang tidak ada di tempat, meskipun tubuhnya sedang terduduk di meja guru, di depan kelas.
Aneh. Apakah mungkin ada wabah melamun yang sedang melanda orang-orang di Surabaya? Tatapan Bu Irma persis seperti tatapan Kak Dinda kemarin malam. Sesekali guru berwajah bulat tembam dan berambut pendek itu menghela napas panjang. Tak seperti biasanya, bahunya yang kokoh melorot ke bawah.
“Maaf. Maaf. Sampai di mana Ibu menjelaskan tadi?” Akhirnya Bu Irma kembali ke tubuhnya.
Sebenarnya Bu Irma tidak sedang menjelaskan apapun, karena hari ini kami melakukan test kecil. Tenggat waktu test telah berakhir, namun kami belum disuruh mengumpulkan lembar test.
Barulah ketika ada murid yang mengingatkan lembar test diestafetkan ke depan. Setelah mendapatkan seluruh lembar test di tangannya, Bu Irma tiba-tiba keluar dari kelas tanpa penjelasan. Semua anak di kelas sempat bingung dan mempertanyakan apa yang terjadi. Tak ada yang tahu apa yang terjadi. Yang ada hanya berbagai hipotesis. Mungkin Bu Irma sedang menyimpan test kami di ruang guru, mungkin Bu Irma pergi ke kamar kecil, mungkin Bu Irma sedang sakit atau mungkin ada urusan mendadak.