Cherwoni

Lindaw
Chapter #10

#10

"Kau harus membantuku dengan kekuatanmu," pintaku pada Cherwoni. 

Selama beberapa saat isi kepalaku kosong, hanya itu saja yang terlintas.

Aku menunjukkan pesan singkat itu pada Cherwoni. Ia menatapku lekat-lekat dan mengangguk, maka timbul sedikit kekuatan pada lututku yang tadinya lemas bak cicak mati.

Kami berdua berlarian kembali ke kelas khusus. Di setiap langkah ketakutan perlahan menumpuk di hatiku. Aku terus teringat akan dua orang siswi yang dikeluarkan dari sekolah karena mengutil. Aku tak berani membayangkan reaksi orang tuaku jika aku dikeluarkan dari sekolah. Yang benar saja. Saat tahu aku mendapat peringkat dua saja mereka tampak kecewa. Aku rasa mereka bisa mati berdiri jika yang terburuk itu terjadi.

Sepuluh langkah lagi harusnya aku mencapai pintu kelasku, tapi kakiku menolak untuk melangkah lagi. Mendengar kegaduhan dari dalam kelasku, membuatku mematung di tempat. Aku menunduk sesaat. Menimbang-nimbang dengan cepat apa yang harus kulakukan. Malaikat Rendy dalam hatiku berkata apapun yang terjadi aku harus menghadapinya sebagai seorang lelaki. Sebaliknya Setan Rendy dalam hatiku membisikkan selalu ada jalan keluar dalam setiap masalah, aku bisa kabur sekarang juga, pulang ke rumah, dan mengabaikan segala yang telah terjadi. 

Tiba-tiba aku merasakan sebuah dorongan di punggungku. 

"Kau tidak bersalah, jadi kau akan baik-baik saja," kata Cherwoni yang berjalan di belakangku.

Aku menengok padanya. Sekilas aku melihat kilauan di matanya yang tak lagi mengenakan penutup mata. Mungkinkah ia juga bisa mentransfer kekuatan pada orang lain? Karena mendadak muncul semangat aneh dalam diriku.

Aku mengangguk, menerima kekuatan itu, dan kembali melangkah. Sedangkan Cherwoni berhenti tepat di sisi belakang kelasku, ia mengintip dari jendela belakang kelas. 

Di depan pintu kelas aku menarik napas panjang dan membuka pintu saat menghembuskan napas. Detik aku melangkah masuk, ruang kelas menjadi senyap. Seakan melihat hantu berjalan, semua mata tertuju padaku. Menjadi pusat perhatian membuat keringat dingin mengalir dari keningku. Tatapan yang kuterima beragam, ada yang menatap seakan merasa kasihan padaku, ada yang menatap dengan mata bulat penasaran seakan sedang menyaksikan film layar lebar, dan ada yang ... tunggu dulu… mengapa ada yang menatap dengan penuh kebencian? 

Itu Yobi. Teman sekelas yang duduk di sebelahku itu sekarang sedang berdiri di depan kelas bersama Bu Irma dan Pak Guntur. Dia menatapku dengan tidak bersahabat.

"Dari mana saja kau?" geram Pak Guntur.

"Saya dari luar sebentar, Pak. Karena tadi perut saya tidak enak," jawabku.

"Apa itu benar?" Pak Guntur menghadap ke Bu Irma, sambil melirik sinis padaku.

"Saya tidak tahu, Pak. Karena tadi saya pergi ke toilet sebentar. Ketika kembali ke kelas, Rendy sudah tidak ada dan tiba-tiba Yobi mengaku kehilangan tablet-nya."

"Kau yakin sudah memeriksa tasmu dengan benar?" Kali ini Pak Guntur bertanya pada Yobi.

Yobi mengangguk dengan keras.

"Kapan menghilangnya?"

"Saya masih memakainya saat istirahat siang, Pak. Dan waktu praktikum saya yakin telah menyimpannya di dalam tas." 

"Apa semua tas siswa di kelas ini sudah diperiksa?" 

"Sudah saya periksa tadi. Tapi tidak saya temukan dimana-mana. Jika Bapak mau memeriksa lagi…."

"Tidak perlu." Pak Guntur memotong ucapan Bu Irma. "Apa tasnya juga sudah diperiksa?" Dia menunjuk ke arahku.

Bu Irma menatapku dengan ragu-ragu untuk sesaat. "Sudah, Pak," gumamnya.

Aku terheran-heran. Mereka menggeledah tas tersangka saat orangnya tidak ada, tapi menjadi marah saat si Tersangka mencuri sesuatu secara diam-diam. Mengapa tidak ada keadilan bagi seorang tersangka? Aku mengandai-andai, jika dompetku menghilang dari tasku saat ini, mungkin mereka akan berkata sudah sepantasnya itu terjadi dan menyuruhku untuk bungkam. 

Lihat selengkapnya