Ketika kau muda, hiduplah hari per hari dengan sepenuhnya, bebaskanlah rasa ingin tahumu, cobalah banyak hal, gagal-lah berkali-kali, tertawalah sepuasmu, dan menangislah sekeras mungkin. Nanti ketika kau sudah dewasa, ketika hidup tidak lagi terasa baik dan segala sesuatunya menjadi hal di masa lampau, kau akan bisa menertawakan kebodohan di masa mudamu itu. Mungkin kau akan bergidik saat mengingat aib-aib menggelikan itu, tapi justru itu yang akan menjadi kebahagiaan tersendiri di saat-saat terberat di masa yang akan datang.
Aku tak ingat kapan tepatnya, yang pasti saat kami masih akur dan saat Kak Reza masih peduli pada adik bungsunya, aku mendengar wejangan ini dari Kak Reza. Dia mendengarnya dari Mama saat ia masih kecil.
Jarak umurku dan Kak Reza adalah sepuluh tahun. Waktu yang tidak lama bagi beberapa orang, tapi ternyata waktu yang cukup untuk mengubah seseorang secara drastis. Buktinya Kak Reza masih sempat mengenal Mama yang asyik, Mama yang berjiwa muda dan bebas. Sayangnya, ketika aku lahir Mama sudah menjadi Mama yang sekarang. Tapi tak mengapa, sebab aku telah mendengar wejangannya dan memegangnya teguh sampai sekarang. Mungkin ini juga salah satu pendorong ketika aku memutuskan untuk mencoba membolos.
Jika mengikuti wejangan dari Mama, aib seharusnya disadari dan ditertawakan saat beranjak dewasa, bukan sekarang!
Meski begitu, tindakan-tindakan bodohku selama beberapa waktu yang lalu bermunculan dalam benakku tanpa permisi. Reka ulang kejadian-kejadian seperti: saat pertama kali bertemu dimana aku tidak menyapa dengan hormat, mengacuhkan, bahkan membolos dengan santai di depannya, lalu membelikan soda gembira seharga lima ribu rupiah dalam sebuah plastik (bodohnya aku, kenapa tidak mau membayar ekstra lima ratus rupiah untuk sebuah gelas plastik). Yang paling parah, dengan kesoktahuanku aku memperingatinya untuk berhati-hati agar tidak jadi tersangka (malah justru sekarang aku yang jadi tersangka). Semua aib memalukan itu karena aku telah meremehkan dan berlaku tak sopan pada Pak Tua atau seperti yang baru saja kuketahui Pak Umbara (ah, bodohnya aku, kenapa tidak berkenalan dengan sopan).
Pak Umbara berdeham, menyadarkanku bahwa aku masih disetrap di ruang Kepala Sekolah.
"Jangan lupa, saya sudah pensiun dari jabatan Ketua Umum," ujarnya sambil terkekeh.
Pak Kepala Sekolah memegangi kepalanya. "Ah, iya. Maaf, Pak, saya selalu lupa." Dia membenarkan posisi duduknya, lalu merevisi perkataannya. "Rendy. Pak Umbara ini Ketua Dewan Pengawas Yayasan."
Bukankah tak jauh berbeda? Dewan Pengawas juga sama berpengaruhnya dengan Pengurus. Tapi aku tak mau bertanya, hanya mengangguk dan menyapa Pak Umbara dengan suara yang nyaris tak terdengar. Aku hanya ingin tahu Pak Tua ini ada di sisi siapa. Memikirkan itu, tanpa sadar aku menghela napas, pasrah.
Kemudian Pak Kepala Sekolah menjelaskan duduk perkara pada Pak Umbara secara cepat. Aku mengamati Bu Irma yang duduk diam dari tadi, ekspresinya seperti orang yang sedang kesusahan. Aku jadi bertanya-tanya, mungkinkah Bu Irma sedang dalam masalah keuangan yang berat, hingga terpaksa mencuri dari muridnya?
Setelah perkara selesai dibeberkan, mereka (Pak Guntur) melayangkan tuduhan padaku, bahwa aku mencuri lalu melarikan tablet itu keluar kelas.
Pak Umbara tersenyum. "Jadi, aksi pencurian Rendy terekam dalam cctv?"
"Betul, Pak. Terekam sangat jelas." Pak Guntur menjawab dengan penuh semangat, seakan tak sabar untuk mendepakku keluar dari sekolah.
"Seberapa besar ukuran tablet itu?" tanya Pak Umbara.
Pak Guntur tampak bingung, entah dia tak tahu jawabannya ataukah dia merasa pertanyaan Pak Umbara tidak bersambung dengan perkataannya.
"Sebesar buku tulis." Bu Irma menggumam, ia akhirnya membuka mulut. "Yobi tadi mengatakan ciri-ciri tabletnya," katanya lagi dengan suara lebih keras.
"Bapak tidak tahu ukurannya?" Pak Umbara kembali bertanya pada Pak Guntur.
"Tidak tahu, Pak."
"Bukankah katanya terlihat jelas di rekaman cctv?"
Pak Guntur tampak tak siap dengan pertanyaan itu. "Ma-maksud saya terlihat jelas Rendy keluar dari kelas seorang diri."
"Jadi tidak ada bukti Rendy membawa tablet itu keluar kelas?"
Alis Pak Guntur bertaut. "Dia pasti menyembunyikannya di balik kemejanya. Dia anak yang pintar, pasti dia tahu ada kamera cctv di luar, jadi tak mungkin dia berani terang-terangan mendekap tablet itu."
Pak Umbara tersenyum lagi sembari mengangguk kecil. Otomatis Pak Guntur menjadi sumringah, ia merasa telah menang. Apakah Pak Tua itu sudah menyerah? Kami beradu pandang sesaat, aku memohon padanya untuk terus berjuang membelaku melalui tatapan mataku. Lalu saat semuanya sedang tidak melihat, Pak Tua itu mengedipkan matanya ke arahku sambil masih tersenyum.
Pak Kepala Sekolah berdeham, memasang mimik muka tegas seakan ingin menunjukkan wibawa, lalu berucap, "maka dari itu, Pak Umbara. Kerusuhan di sekolah ini sudah semakin menjadi-jadi. Ini kejadian kedua setelah kasus lalu yang belum terpecahkan. Jaraknya tidak lama, hingga banyak orang tua murid yang semakin resah. Setelah kami rundingkan dengan seksama, kami berencana untuk menindak keras Rendy. Maksudnya supaya hal ini menjadi peringatan bagi siswa yang lain, agar tidak coba-coba mengulangi perbuatan yang sama."
"Baik. Apa hukuman yang akan diberikan pada Rendy?"
"Sekolah dengan terpaksa akan 'melepas' Rendy." Maksudnya sekolah akan mengeluarkanku dengan tidak hormat.