Cherwoni

Lindaw
Chapter #12

#12

Seketika itu juga aku diusir keluar. Jadi aku berdiri di luar ruangan, menunggu keputusan akhir yang akan menentukan nasibku. Yang terakhir kali kulihat adalah Pak Kepala Sekolah yang sibuk membuat panggilan telepon, Pak Guntur yang masih berusaha mempersuasi Pak Umbara bahwa aku bersalah dan patut dihukum, dan Bu Irma yang terkulai lemas di sofa seperti seonggok boneka marionette yang sedang tidak dimainkan.

Tak lama kemudian, bel pulang berdering dan seluruh pintu kelas terbuka. Ratusan siswa berduyun-duyun keluar kelas, berdesak-desakan seakan berlomba untuk pulang duluan. Arus manusia yang tiba-tiba melanda ini mengagetkanku. Aku jadi tak tahu bagaimana harus bersikap. Ingin menghilang, aku berdiri menghimpitkan badan ke vas bunga raksasa yang ada di depan kantor Kepala Sekolah, sedikit meringkuk dan melipat kepala ke bawah hingga yang tertangkap pandanganku hanya ubin lantai. Jika bisa aku ingin menyatu dengan dinding, sebab perasaan malu membuncah begitu saja. Meskipun aku tak kenal orang-orang ini dan mereka juga tak mengenalku, karena sekarang aku berada di gedung sekolah lama, namun tetap saja di benakku setiap mata yang sedang menatap terlihat sedang menghakimi atau memikirkan sesuatu yang buruk tentangku dalam pikiran mereka. 

Aku memejamkan mata, dan kembali menjadi anak sepuluh tahun yang berguling-guling di kursi belakang mobil, memegangi perut erat-erat, berpura-pura sakit agar diperbolehkan membolos sekolah.

"Rendy, kau harus bangun sekarang. Nanti kau terlambat masuk kelas," kata Mama sambil menoleh ke belakang dari kursi depan.

Aku merajuk. "Perutku sakit sekali, seperti mau mati rasanya. Aku tidak mau sekolah." 

"Hei, jangan gampang bicara tentang kematian. Selama kau masih bisa berteriak seperti itu, berarti kau masih hidup dan sehat." 

"Tidak! Perut Rendy masih sakit, Ma. Mama jahat kalau memaksa Rendy masuk saat sakit. Mama harus izin ke Bu Guru, Rendy tidak masuk hari ini.” Sebagai bocah, aku menggunakan jurus terampuhku sambil memunggungi Mama. Tapi Mama tak menghiraukan anaknya yang sedang tersedu. 

“Baiklah kalau begitu. Sekarang kita akan pergi ke dokter. Karena izin tidak masuk pasti akan dimintai surat dokter oleh Bu Guru. Nah, jadi …. jika dokter berkata kau benar-benar sakit, kita akan pulang dan kau boleh membolos hari ini. Tapi kalau ternyata kau sehat, kita akan kembali ke sekolah." Mama mengulurkan tangan, meraih lenganku untuk membalikkan badanku, agar aku menatap matanya. "Bagaimana? Kau harus siap untuk berdiri di depan kelas jika ketahuan sehat, karena kita pasti akan terlambat masuk sekolah kalau ke dokter dulu. Kau harus tahan berdiri dengan dilihat teman-teman sekelasmu, mungkin kau akan disindir, diejek, atau ditertawakan. Bisa jadi kau akan mendapat julukan baru dari teman-temanmu. Teman Mama dipanggil 'Mungo', alias 'Munyuk Ngompol' selama 3 tahun karena dia kebelet pipis dan ngompol saat sedang disetrap di depan kelas. Kau mau dapat julukan seperti itu?"

Aku menggeleng dengan keras. Air mata yang keluar murni karena takut menjadi kera yang tidak bisa mengontrol kandung kemih. Akhirnya dengan lemas aku keluar dari mobil, dan menyeret kaki menuju gerang sekolah dengan bahu yang melorot sampai-sampai tali tas ransel ikut jatuh berkali-kali.

Alih-alih menjadi siswa yang dihukum, seumur-umur aku bahkan tidak pernah terlambat datang ke sekolah. Berkat manajemen waktu Mama yang sempurna, di tempat les pun aku selalu menjadi yang paling pertama hadir. Aku hanya pernah melihat teman-teman yang lain dihukum. Dijadikan pajangan hidup yang terabaikan sementara guru terus melanjutkan pelajaran. Aku ingat melihat salah satu teman yang sedang dihukum, menggoyang-goyangkan kaki karena lelah berdiri, kadang mencuri-curi untuk bersandar pada dinding saat guru tidak melihat, jika sedang sial, teman-teman yang duduk di kursi akan berubah menjadi polisi yang melaporkannya pada guru. Mereka tidak terima karena ia terlihat tidak serius menjalani hukuman. Semua itu tampak sangat menyiksa dan memalukan. Jadi gertakan Mama terdengar sangat menakutkan di telingaku.

Meski begitu, nyatanya tidak semua orang benci dihukum. Pernah suatu hari, saat sedang menuju ke ruang guru, aku melewati dua orang siswa yang sedang disetrap di depan ruang guru. Anehnya mereka cengengesan dan bercanda-canda tanpa suara di antara mereka sendiri. Pikirku saat itu: mungkin hanya orang-orang spesial yang bisa kebal terhadap rasa malu, bahkan terlihat bangga saat dihukum. 

Sejak hari itu, aku tak pernah mencoba membolos dengan berpura-pura sakit. Bila ingin membolos, sehari sebelumnya aku akan bangun tengah malam dan memakan es batu di dalam kulkas sebanyak-banyaknya, agar besok harinya aku demam dan sakit tenggorokan. Kenakan-kanakan memang. Tapi hanya itu yang mempan untuk Mama. Suatu kali karena terlalu mengantuk, aku kurang giat mengunyah dan menelan es batu, hingga besoknya aku hanya terbatuk-batuk tanpa demam. Mama menyodorkan sebuah masker lalu berkata selama aku masih bisa berdiri dan berjalan, aku harus masuk sekolah.


***

Waktu sudah berjalan sekitar tiga puluh menit. Meski koridor telah sepi, tapi aku tetap tak dapat mendengar suara apapun dari dalam ruang Kepala Sekolah. Aku berjongkok, karena kakiku mulai kehilangan tenaga. 

Tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan di dekat kakiku, lalu terdengar suara, "hei. Kau tak apa-apa?"

Aku mendongak dan melihat wajah Cherwoni yang tampak kuatir. Sontak aku langsung berdiri, tapi karena gerakan yang mendadak, listrik menyambar naik turun di kakiku dan berakhir di telapak kaki, kakiku kesemutan! 

Dengan sigap, Cherwoni menopang badanku yang oleng. Wajahnya hanya berjarak satu sentimeter dariku. Ketika sadar jarak kami terlalu dekat, sekali lagi listrik menyambar, kali ini di jantungku, seperti baru saja dikejut dengan defribrilator[1].

"A-aku baik-baik saja," kataku sambil mundur satu langkah ke belakang.

Cherwoni masih mengamati wajahku. Ini mengesalkan, dia kelihatan biasa-biasa saja, seakan tak sadar baru saja berdekatan dengan seorang lelaki. Apa mungkin dia tak menganggapku lelaki karena aku terlalu lemah? Aku segera menepis pikiran itu dengan menggoyangkan kepala dengan cepat.

"Kenapa kau ada di sini?" tanyaku padanya.

Alisnya mendekat, raut wajahnya berubah kesal, "kau masih bertanya. Ini semua pasti ulahmu. Kau yang mengadukan aku ke para guru bukan?"

Lihat selengkapnya