"Jika ada yang bertanya, kau harus berkata bahwa kau merebutnya dariku," ujar Mas Ajie sambil menyodorkan bungkus rokok yang terbuka padaku. Isinya tinggal setengah.
Aku mengambil satu batang. "Baiklah," kataku, meskipun tidak akan ada yang percaya pada omong kosong itu, sebab semua orang tahu Mas Ajie jauh lebih kuat dan lebih tangkas dariku. Tapi, baiklah. Apapun akan kukatakan agar bisa merokok malam ini.
Mas Ajie merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah pemantik api. Ia menyulut rokok yang telah kuselipkan di antara telunjuk dan jari tengahku. Aku tak pernah merokok sebelumnya. Rokok termasuk benda yang tabu di keluargaku. Bukan hanya karena dilarang, tapi mereka memang tidak menyukainya. Papa pun tak tahan dengan bau asap rokok. Dia selalu menegur setiap tamu yang berani merokok di ruang tamu, tak peduli jika itu klien sekalipun. Jadi, sebagai perjaka dalam hal merokok, aku hanya bisa meniru apa yang kulihat di film-film. Jemari kubiarkan lemas lunglai agar terlihat rileks, tak lupa aku menatap tajam ujung rokok yang kini telah membara dengan ekspresi wajah seakan orang termalang di dunia. Menghayati setiap momen.
"Wa … kwakk …."
Tiba-tiba terdengar bunyi burung malam yang menjerit. Terkejut, mendadak akal sehatku kembali sejenak. Terbesit sebuah pikiran pecundang (malaikat Rendy) dalam benakku, yang berkata ‘kau sudah membuktikan bahwa dirimu sedang frustasi, hentikan dan pulang ke rumah, jangan lewati batas ini atau kau akan jadi anak nakal betulan’.
Dengan sengaja aku menekan tombol senyap pada pikiran itu, lantas menghisap ujung rokok yang tidak menyala dengan cepat dan meniupkan sedikit asap yang terkumpul di mulutku. Berhasil. Rokok pertamaku. Dengan ini aku menjadi anak nakal tulen. Kemudian aku menghisapnya lagi untuk beberapa kali.
Tapi tunggu ... Aneh sekali. Aku tidak merasakan apa-apa setelah menghisapnya, tidak seperti perkataan beberapa orang yang tidak sengaja kudengar. Mereka berkata kau akan merasakan ketenangan, kenikmatan, dan kesenangan saat merokok. Aku tak merasakan satupun dari hal-hal itu.
"Bukan begitu caranya," ujar Mas Ajie yang ternyata memperhatikan sedari tadi. "Kau hirup dengan kuat …." Dia menyesap dengan keras sampai tulang pipinya menonjol. Ia menunjuk lehernya, terlihat jakunnya turun naik. Lantas ia menghembuskan asap cukup banyak. "... telan dulu, baru kau lepaskan," jelasnya.
Ah, begitu ternyata. Caraku salah, makanya aku tak merasakan apapun. Pikirku. Jadi aku mengikuti cara yang diajarkan Mas Ajie.
Hisap kuat …
Telan …
Apii!
Tenggorokanku seakan dilewati bara api! Aku terbatuk-batuk hebat sampai terpingkal-pingkal. Otomatis air mataku menetes. Perutku bergejolak, serasa ingin muntah.
Di tengah kesakitanku, aku mendengar Mas Ajie terkekeh melihat tingkahku. Dengan marah, aku melempar batang rokok itu ke tanah dan menginjaknya sampai hancur dan halus, sambil mengumpat. Syukurlah jarak antara pagar dan rumah cukup jauh, aku yakin tidak ada yang mendengar kehebohan ini.
"Aku tak habis pikir, kenapa Mas Ajie suka benda ini. Rasanya seperti tahi," tukasku kesal.
Mas Ajie cekikikan, lalu ia mengangkat bahunya. "Aku tak pernah bilang aku menyukainya."
"Lalu kenapa membawa-bawa sebungkus rokok di kantong?"
"Karena aku tak punya hal lain untuk dikerjakan, dan aku terlihat lebih keren saat merokok. Betul kan?" Ia kembali menghisap rokoknya, seketika asapnya mengepul-ngepul di langit malam, beberapa terbang ke arahku, jadi aku mengibas-ngibaskan tangan di udara.
"Sedang apa kau disini, Ren? Kenapa kau ingin merokok?"
"Bukankah seharusnya pertanyaan itu ditanyakan dulu sebelum memberi anak di bawah umur sebuah rokok?"
Mas Ajie tertawa lepas. “Kau terlihat seperti akan mencurinya dariku jika tak kuberi.”
"Kau tahu aku tak akan berhasil."
"Ya. Kenapa anak polos yang tak bisa mencuri, ingin merokok?"
Aku tersenyum kecut. "Kupikir aku bisa sedikit rileks saat merokok." Dan … aku juga perlu sesuatu untuk menghilangkan rasa logam di mulutku.
"Kau sedang stress?"
"Lumayan."
"Apa yang terjadi?"
Perkataan ini sudah lama tak kudengar dari Mas Ajie. Dulu sekali, saat kami masih kecil, kami bertiga: aku, Kak Dinda, dan Mas Ajie selalu bermain bersama. Kata Kak Dinda Mama sering menitipkan kami pada Bi Yem, sementara Mama sibuk mengajari Kak Reza. Pasalnya Kak Reza sering mendapat nilai merah. Jadi Bi Yem akan membawa Mas Ajie ke rumah untuk jadi teman main kami. Umur Mas Ajie dan Kak Dinda terpaut hanya dua tahun, jadi mereka lebih dulu menjadi teman sepermainan daripada aku. Meski begitu, aku ingat Mas Ajie sangat menyukaiku karena dia seorang anak tunggal. Dia mendambakan seorang adik. Beberapa tahun kemudian, saat Kak Reza sudah kenyang dengan pendisiplinan Mama dan akhirnya menyerah dan menuruti apapun yang disuruh, jadi kami tidak punya lagi waktu untuk bermain, apalagi Mas Ajie masuk ke dalam rumah untuk bekerja, hubungan kami perlahan berubah menjadi seorang pekerja dan seorang anak majikan. Pembicaraan kami tiap harinya hanya sebatas 'terima kasih sudah membukakan pintu pagar' dan 'sama-sama'. Oleh karena itu, malam ini aku membiarkan diriku bernostalgia.