Cherwoni

Lindaw
Chapter #14

#14

Selama ini kupikir villain hanya ada dalam cerita-cerita karangan penulis. Tak pernah terbesit dalam pikiranku akan memiliki seorang musuh, sebab seingatku, aku selalu hidup dalam damai dengan siapa pun. Aku selalu bersikap sebaik dan semanis mungkin, selalu menjadi penurut yang murah senyum, dan selalu mengangguk setuju pada setiap pendapat.

Tapi hari ini semua itu runtuh. Seakan tak cukup ia menyalangkan matanya padaku saat jam pelajaran, saat ini Yobi juga mengikutiku yang sedang berjalan ke kamar mandi. Saat aku melangkah masuk ke toilet, dia menarik lenganku lantas mendorongku ke tembok. Sakit. Aku serasa dihantam sebuah alat berat. Boleh dikata lengannya yang terbalut sempurna oleh lemak menjadikannya mirip seperti road roller

“Hei! Apa yang kau lakukan?” teriakku sambil mengepalkan tangan. Tidak ingin terseret ke dalam insiden yang kedua, jadi aku menahan diri untuk tidak membalas. "Kenapa kau masih disini?" bentaknya. 

Aku mengernyitkan alis. "Bukankah sudah jelas, karena aku sedang bersekolah." 

"Jangan berlagak bodoh!” Sekali lagi ia mencoba untuk mendorongku, tapi kali ini berhasil kuelakkan. Tubuh gemuknya menghantam dinding. “Kenapa mereka tidak mengusirmu dari sini?”

“Kenapa mereka harus mengusirku? Aku tidak bersalah. Itu hasil keputusan mereka. Dan memang bukan aku pelakunya. Jika kau keberatan, bicaralah sendiri pada para guru.”

Wajahnya merah padam karena geram. “Dasar, guru-guru tak becus!” Dia mengumpat para guru sambil memukul tembok. Tingkahnya tidak lebih baik dari anak kecil yang sedang tantrum.

“Tenanglah, Yob. Kau sebegitu cintanya pada tabletmu? Bukannya kau cukup mampu untuk membeli yang baru?”

Dia menatapku dengan mata penuh kebencian, lalu ia mencengkeram lenganku kuat-kuat. “Ini semua gara-gara kau! Kau … awas kau … kubunuh kau jika berani membukanya.” Matanya mulai berair, entah karena ia tidak berkedip dalam waktu yang lama, atau karena ia memang ingin menangis. 

Kutepis tangannya. "Kau mau membunuhku? Kau bahkan tak bisa menyakitiku!" Secepat mungkin aku berpindah ke belakangnya, lalu menendang tulang keringnya dari belakang dengan ceroboh. Meski gerakanku tidak sempurna seperti gerakan Cherwoni, tapi aku tetap berhasil menumbangkan Yobi. Suara jatuhnya menggema. 

Kukira ia akan membalasku dan kami akan bergulat di toilet. Aku sudah bersiap untuk melancarkan pukulan kilatku saat dia bangun. Tapi bukannya bangkit berdiri, Yobi malah duduk di lantai dengan muka di antara kedua lututnya. Aku melihat pundaknya bergetar-getar.

Apa dia sedang terisak? Aku cukup yakin tendanganku tidak sesakit itu, terlebih lagi tulang keringnya berbantalkan lemak. Seharusnya dia menangis bukan karena sakit.

Lalu apa teman sekelasku ini menjadi gila? Mengingat perubahan emosinya cukup drastis dalam waktu yang singkat.

Aku menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan saat melihat seorang teman lelaki bertubuh gemuk yang sedang tersedu-sedu sambil bergulung bak tenggiling, berjalan pergi atau tetap disini, memanggil guru atau mengacuhkannya, menghiburnya … tapi bagaimana caranya? 

Maka kuputuskan untuk tetap berdiri mematung tanpa berkata-kata. Beberapa siswa yang masuk ke dalam toilet memandang kami dengan aneh, tapi tak ada yang berkata apa-apa. Sekarang aku jadi penjahatnya. 

Tak lama kemudian, Yobi mengusap air mata dan ingusnya dengan lengan. Tampaknya ia sudah selesai menangis, jadi aku berjongkok di sebelahnya. Tangisannya sedikit banyak menarik simpatiku. Aku memutuskan untuk membantunya, "aku mengerti sekarang. Tablet itu seberharga itu buatmu. Jadi aku akan membantumu mendapatkannya kembali, jika kau mau." 

Aku berbohong. Sebenarnya aku hanya tertarik untuk mencari tahu apa yang ada di dalam tablet itu.


***

Pada saat istirahat siang aku mengajak Yobi untuk menemui Cherwoni di perpustakaan. Aku segera menyesali tindakanku itu, karena ketika Yobi melihat Cherwoni dengan wajah tanpa penutup mata, ia segera terpesona. Padahal tidak lebih dari lima detik. Cherwoni menutup kembali sebelah matanya yang berwarna serupa batu rubi saat melihat kedatangan kami. Meski begitu saat kami telah duduk berhadapan dengan Cherwoni pun mulut Yobi masih terbuka menganga. Rupa-rupanya ia terkesima seakan telah melihat seorang bidadari turun dari surga. Otomatis aku mengeplak kepalanya dengan keras agar ia tersadar kembali. Ia mengaduh.

"Jadi apa yang kita lakukan disini?" tanya Panca yang duduk di sebelah kiriku. Entah mengapa Panca juga mengikuti kami.

"Siapa yang mengajakmu kemari?" balasku dengan ketus.

"Aku sendiri yang mengajak diriku sendiri," tuturnya dengan bangga.

"Kenapa?"

"Karena kelihatannya menyenangkan." Panca meringis lebar.

Aku memutar bola mata. Jadi sekarang di sebelah kananku ada si Gemuk yang genit, di kiriku si Tukang Ikut Campur yang tidak diundang, dan baru saja duduk di sebelah Cherwoni si Kacamata yang menyebalkan. Aku menghela napas panjang. Saat aku melihat pada Cherwoni, air mukanya menunjukkan ia sedang gelisah.

"Panca, bisakah kau pergi? Angga juga, bacalah di meja yang lain. Dan Yobi berhenti memelototinya! Dia bukan etalase makanan! Kalian semua membuat Cherwoni tidak nyaman," omelku sambil menunjuk pada Cherwoni yang hanya menunduk ke bawah.

"Ka-kau juga! Semua tolong pergilah dari sini." Suara Cherwoni melengking. Melihatnya yang salah tingkah cukup menggemaskan. Mungkin dia tidak suka berada di kerumunan.

Lihat selengkapnya