Begitu bel istirahat kedua berdenting, kami langsung meluncur ke ruang pos satpam yang berada di dekat gerbang utama sekolah. Ruang satpam yang berbentuk kotak itu memiliki dua pintu dan beberapa jendela. Pintu yang mengarah pada gerbang sekolah selalu dibiarkan terbuka. Setiap orang yang melewati gerbang akan merasa sedang diawasi, meski nyatanya satpam tak selalu berjaga di ambang pintu. Sedangkan di sisi lain, sebuah pintu yang mengarah ke sisi dalam sekolah selalu dalam keadaan terkunci dari dalam.
Bagaimana strategi kami untuk masuk ke ruang satpam? Aku juga tak tahu. Panca hanya mengatakan kami hanya perlu bersiap di balik pintu yang terkunci. Oleh karena itu, sesuai instruksi Panca, kini aku, Cherwoni, dan Yobi berjongkok tepat di bawah jendela dekat pintu. Dimana Angga? Tentu saja dia tidak ikut. Begitu kami memutuskan untuk membobol ruang cctv, dia mengangkat pantatnya dari kursi dan melangkah pergi keluar dari ruang perpustakaan.
Dengan berhati-hati aku meluruskan punggung dan mendongak sejauh yang kuperlu untuk dapat mengintip lewat jendela. Aku cukup penasaran dengan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Aku dapat melihat Panca yang sedang berdialog dengan Pak Satpam sekolah kami, seorang pemuda yang kira-kira berusia dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Aku tak dapat mendengar percakapan mereka, tapi melihat pundak pak satpam yang terangkat dan wajahnya yang condong ke depan, itu menandakan dia sedang sangat tertarik dengan pembicaraannya. Tak lama kemudian pak satpam melambaikan tangan dan beranjak pergi. Dengan cepat aku menunduk untuk bersembunyi kembali.
Saat melirik ke bawah, aku melihat kaki gemuk Yobi gemetaran. Dia hampir-hampir tak kuat untuk tetap berjongkok, lantas tubuhnya oleng ke arahku. Serasa dijatuhi sepuluh karung beras, aku pun ikut terjatuh ke arah Cherwoni yang ada di sebelahku. Sebelum efek domino terjadi, dengan gesit Cherwoni bergeser, dan saat itu juga pintu terbuka.
Panca yang masih memegang gagang pintu memandangi kami dari atas sambil menggelengkan kepala. "Kalian terlalu banyak menonton film. Ini bukan misi kosong kosong tujuh."
"Minggir, Yob." Aku berusaha mendorong tubuh Yobi.
"Aku bilang siaga. Bukan tiarap," ujar Panca masih mengomel.
Aku berdecak. Jika Panca tidak berperan penting dalam misi ini, sudah pasti tinjuku mendarat di pipinya.
Ketika melangkah masuk, ruang satpam telah kosong. Pintu yang mengarah ke gerbang utama telah ditutup. Jendela pun telah tertutup gorden.
"Kerjaku bagus bukan? Kalian boleh berterima kasih nanti. Sekarang, ayo kita geledah rekaman cctv." Panca menyeringai. Ia duduk di hadapan komputer yang rupanya server cctv sekolah kami, sementara kami bertiga berdiri di belakangnya. Sebelum memulai aksinya, Panca merenggangkan tangannya jauh ke atas dan membunyikan jemarinya seolah ia seorang peretas handal.
“Pak Satpam pergi kemana?” tanya Yobi sambil melirik-lirik ke seluruh ruangan dengan gusar. Barangkali ini pertama kalinya ia melanggar peraturan.
“Ke toilet,” ujar Panca sambil mengutik-utik komputer.
Aku mencengkram pundak Panca. “Oh, jadi itu rencanamu. Kau meracuninya dengan pencahar?”
Panca memegangi dadanya, seakan kata-kataku baru saja menikam jantungnya. Dia membalikkan badannya, melihatku dengan mengangkat alis. “Berapa kali harus kubilang padamu? Panca adalah orang baik, disukai oleh semua orang. Tidak mungkin aku berbuat jahat seperti itu. Mana mungkin aku menyia-nyiakan relasi? Kau belum tahu? Di dunia luar yang terpenting adalah koneksi, bukan buku paket,” ujarnya kesal.
Dengan jari telunjuk aku mendorong mukanya agar kembali melihat layar. “Oke, Panca yang disukai semua orang. Jadi apa yang kau lakukan pada Pak Satpam?”
“Dia ke toilet untuk mengeluarkan isi perutnya setelah aku berkata akan mentraktirnya makan mie pangsit di kantin. Aku hanya memenuhi janji lama yang tertunda.”
“Pak Satpam hanya pergi ke untuk membeli makanan? Artinya, sebentar lagi dia akan kembali untuk makan di mejanya. Cepatlah Panca.” Kutepuk-tepuk pundaknya.
“Tenang … tenang.” Panca telah menemukan rekaman hari kemarin. “Kau harus tahu Panca juga seorang yang cerdas … ya, meskipun peringkatku jauh di bawah kalian ….” Tangannya berhenti dan terjuntai lemas di samping tubuhnya.
Aku mendecak. “Jangan main-main, Panca,” seruku.
Bukan hanya aku, Cherwoni pun tampak kesal. Ia mendorong setengah memukul punggung Panca dari belakang, tanpa berkata-kata, hinggq Panca yang tersentak kembali meletakkan tangannya ke atas keyboard.
“Intinya, Pak Supri tidak akan kembali secepat itu. Tak banyak yang tahu, tapi dia menyukai pegawai baru yang bekerja di stand mie pangsit. Kalian ingat? Stand yang ada dipojok kantin. Gadis belia yang sering memakai hijab berwarna pastel?"
Semuanya hening, tanda tak ada yang ingat.
Panca melirik kami dengan ekspresi kecewa. "Ah, sudahlah! Pokonya dia pasti akan berbasa-basi selama mungkin. Jadi dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.” Panca menggeser kursor mouse untuk mempercepat rekaman kamera pengawas. “Yobi, kau masih memilikinya saat istirahat kedua kan?”
Yobi mengangguk cepat. “Iya, benar.”
Di layar komputer kami dapat melihat dengan jelas wajah setiap siswa yang keluar kelas. Untungnya kelas kami terletak di ujung koridor sehingga kamera pengawas dapat menyorot pintu depan dan pintu belakang kelas sekaligus. Tidak ada yang dapat lolos dari kamera pengawas.
Seperti biasanya saat istirahat kedua tak banyak siswa yang keluar dari kelas, dan tidak ada yang mencurigakan. Ketika jam istirahat usai, semua siswa di kelas berduyun-duyun keluar kelas.
“Ini saat kita pergi ke laboratorium untuk praktek bukan?” ujar Panca.
“Ya,” gumamku.
Kami memerhatikan dengan intens, agar tahu siapa yang belum keluar.
“Semuanya sudah keluar. Artinya kelas benar-benar kosong,” jelas Panca.