“Ctak! Ctak! Ctak!”
Malam itu benar-benar menjadi malam terpanjang yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku, di malam itulah seluruh ceritaku dimulai.
“Uhuk... Uhuk...!” Aku mengeluarkan seluruh air laut yang sempat tertelan, kerongkonganku mati rasa untuk sesaat.
Di detik terakhir, aku memaksa tubuh untuk melompat sebelum seluruh kapal hancur akibat ledakan.
Aku melongok kanan-kiri, menganalisis situasi. Aku benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan malam itu, terombang-ambing oleh ombak laut ganas di malam yang dingin. Ya Tuhan, aku benar-benar menyaksikan sendiri bagaimana dahsyatnya ledakan itu, aku menontonnya, hingga seluruh kapal benar-benar tenggelam di saat yang sama. Di ingatan yang sama juga, aku sempat terpikir bagaimana jika aku tidak melompat di detik terakhir itu.
Malam kali ini benar-benar dingin, cukup ditambah dengan angin yang ribut, membuatku benar-benar menggigil di tengah lautan ini. Aku tengah mengumpulkan energi untuk bisa berenang malam ini. Setidaknya dengan berenang, aku bisa menemukan sebuah pulau dan bersembunyi di sana, begitu pikirku awalnya, namun situasi yang benar-benar kacau ini membuat konsentrasiku buyar. Otakku tak dapat berpikir cermat tentang untung-ruginya melakukan semua ini.
Rintik-rintik hujan mulai turun. Aku menatap langit hitam saat itu dengan mata redup. Penuh tanda tanya.
“Mereka pikir, aku akan mati semudah itu? Lucu sekali...” Aku tertawa kecil.
Ombak besar datang untuk ke sekian kalinya. Lebih besar dari yang sebelumnya, lebih ganas, lebih cepat, lebih dingin.
“Byuurr...!” Ombak besar itu menelan seluruh tubuhku cepat.
“Blup.. Blup....” Air laut melasak masuk lagi ke dalam mulutku. Berjuta-juta bulir air mendorong, memaksa masuk ke dalam tubuhku lebih dalam.
Aku mengerang di dalam lautan, terlempar ke sana-sini, tidak memberi sedetik pun waktu untuk berpikir lebih cepat. Lautan memang kejam.
“Blup... Blup....” Konsentrasiku hilang. Pandanganku buyar, kalah dengan air.
“Blup... Blup....” Pandangan hitam mulai menghantuiku, laut hitam di dalam sana menunggu kedatanganku dengan tangan terbuka, ‘Ayo! Cepatlah! Kami akan ‘menjaga’ tubuhmu selagi kau ‘ke sana’. Ke sana?
“Blup... Blup....”
Untuk beberapa saat aku kehilangan kesadaranku, namun...
‘Balaskan dendam mereka, ‘...’! Kami percaya padamu...!’ Suara misterius itu kembali terdengar, suara yang mengahantuiku selama ini, tetapi efektif sekali di saat-saat seperti ini. Membuat pikiranku kembali tenang.
“Blup... Blup... Blup....” Mataku terbuka, kesadaranku pulih kembali.
Dengan cepat, aku membalikkan badan dan berenang kembali ke permukaan.
“BUAH!!” Berhasil.
Kepalaku muncul kembali─mencuat di tengah riak air. “Uhuk... Uhuk... Uhuk...!” Tidak terhitung berapa banyaknya air laut yang tertelan.
Aku menatap kembali ke sekitar. Hujan masih turun, namun kali ini lebih deras dari sebelumnya. Kilat dan guntur menari-nari di atas sana, ombak juga tak kalah ganas, menghantam apapun yang berada di depannya.
Walau kondisi tubuhku sudah di ambang batas─dengan kaki yang bengkak mendenyut perih dan lengan kiriku yang tergores sesuatu, aku memutuskan untuk segera berenang, tidak ada waktu lagi. Aku bisa mati membeku di tengah lautan seperti ini. Ya, paling tidak aku masih berusaha untuk terus hidup walau tidak tahu sampai kapan aku akan berusaha untuk terus hidup.
“Shhhh...” Angin kencang menerpa wajahku, membuat kebas wajah.
Aku mempercepat kayuhan tangan dan kakiku, berenang seperti orang gila. Sebenarnya berenang di tengah lautan dengan hujan deras disertai angin dingin ini akan mengundang hipotermia, namun yang penting aku segera sampai ke mana pun, dimana tempat aku bisa beristirahat dan menghangatkan badan. Aku berenang tak tahu arah, ke mana saja yang menurutku benar.
“Ctak! Ctak! Ctak!”
Setengah jam berlalu.
Gerakanku melambat, energiku terkuras habis, sesekali aku melirik pergelangan tanganku. Pukul 03.10, sudah lumayan pagi, namun hujan belum kunjung reda. Sesekali aku berhenti di tengah lautan, sesak nafas. Sesekali juga aku terhantam ombak dan mengubah jalur renang lagi. Dan sejauh ini aku belum melihat tanda-tanda adanya suatu pulau atau terumbu karang, hanya air berombak sejauh mata memandang.
Untuk ke sekian kalinya, aku melanjutkan perjalanan setelah berhenti beberapa saat untuk istirahat dan mengatur napas. Hujan mulai reda, penglihatan dan pendengaranku kembali berfungsi dengan baik.
Pukul 04.00.
***
Beberapa jam berlalu, matahari sudah terbit beberapa menit yang lalu, aku masih terombang-ambing di tengah laut oleh ombak-ombak kecil, lautan sudah mulai jinak. Aku masih berusaha untuk berenang―mencari tempat istirahat. Jam menunjukkan pukul 05.30. Wah, aku pun tak percaya bisa berenang selama itu, mungkin sudah bisa memecahkan rekor dunia.
“Hahaha...!” Aku tertawa senang―beberapa detik kemudian, bukan karena merasa bangga karena telah memecahkan rekor dunia, tetapi lihatlah.
Mataku menangkap sebuah siulet kecil di sana. Aku terlonjak girang, setelah sekian lama akhirnya aku menemukan sebuah tempat, namun letaknya lumayan jauh dari tempatku berada. Dengan menghitung jumlah energi yang tersisa, aku bisa sampai ke sana kira-kira satu jam atau lebih. Hm. Tak apa.
Beberapa saat kemudian, aku melanjutkan kayuhanku lagi, kali ini lebih bersemangat, mengingat betapa capainya tubuhku, ingin segera barbaring. Moga saja aku bisa beristirahat di sana.
“Ctak! Ctak! Ctak!”
Tercatat...