Chi Rain

Jii Shi
Chapter #3

Misi3#3

“Ctak! Ctak! Ctak!”

Selasa, 22 Januari 2086.

Pukul 09.30.

Sinar matahari membuatku terbangun. Bibir pantai terasa lengang, angin sepoi-sepoi menerbangkan daun kelapa di tepi pantai, sepi sekali. Aku duduk sambil memeluk lutut, memandang laut biru dengan ombak-ombak kecil yang berkejaran. Tenang sekali pagi ini.

Ini salah satu pulau yang dilupakan, belum dikenal, tidak berpenghuni. Mungkin letaknya yang jauh dari Ibu Negara membuat pulau ini diabaikan. Tidak tahulah, mungkin saja beberapa tahun lagi pulau ini akan dibuka, diubah menjadi pabrik-pabrik, taman bermain, dan sebagainya. Tidak ada yang tidak mungkin. Itu motto pemerintah saat ini. Memang membuat semangat, tetapi lebih banyak membuat kerusakan.

“Selamat pagi, Nona...!”

Aku menoleh. Lelaki itu. Ia membawa sesuatu di tangannya.

“Sarapan.” Ia duduk di tempatnya, “ada muara di dekat sini, jadi mudah mendapatkan ikan... sudah kubakar. Makanlah...!” Ia menyodorkan sebuah lidi ikan bakar.

Awalnya sedikit ragu, namun kuterima juga. Perutku sudah berbunyi-bunyi sejak tadi malam, lapar sekali. Aku mulai menggigit ikan itu, menggigitnya perlahan dan tidak menghiraukan sesuatu yang aneh. Aku tidak merasakan apapun dari ikan ini, apa memang tidak ada rasanya? Tanpa bicara kami memakan bagian masing-masing. Tidak banyak berkomentar dan menghabiskannya. Aku mengabaikan sesuatu yang sangat penting.

Beberapa menit kemudian, kami selesai sarapan. Sepertinya menatap lautan menjadi rutinitas kami sejak itu. Duduk sambil memeluk lutut dan memelototi lautan biru di depan sana.

“Sudah berapa lama kau di sini?” Aku mengajaknya bicara tak lama kemudian.

“Hm? Mungkin… dua minggu?” raut wajahnya berubah.

Aku menatap wajah itu. Wajah yang kehilangan.

“Hmm... Keluargamu bagaimana?”

“Tidak tahu...” ia menggeleng, “sepertinya baik-baik saja.”

Itu percakapan yang wajar. Semua orang tahu ia sedang diasingkan. Jika dia bukan musuhku, maka dia adalah seorang yang dihukum. Sebuah kesalahan membuatnya dilempar ke pulau ini. Tidak ada penjara di kota. Karena pertumbuhan penduduk semakin meningkat, pemerintah memutuskan untuk menghentikan pembangunan fasilitas yang dianggap tidak penting, masih bisa dicarikan solusi lain, seperti pengasingan ini.

“Kesalahan apa yang sudah kau lakukan?” tanyaku lagi sambil meluruskan kaki, pegal juga lama-lama.

Ia terdiam.

“Semua orang bertanya itu, ‘kesalahan apa yang sudah kau lakukan?’ temanku, keluargaku, bahkan ibuku sendiri menanyakan itu, tapi...” ia menahan sesuatu, “Aku tidak tahu apa salahku sehingga diasingkan seperti ini?!”

“Aku bersekolah seperti anak lainnya, belajar, mengembangkan bakat, hidup layaknya orang normal... aku saja tidak tahu apa kesalahanku...!” Ia menyerukan hal itu.

Kami sama-sama terdiam. Aku sepertinya mengerti.

“Ada sisi gelap di dunia ini yang tidak kau ketahui, Pria. Tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Seperti kasusmu, tiba-tiba divonis, tanpa diberi tahu apa kesalahan yang kau lakukan. Itu sudah biasa terjadi. Manusia-manusia saja yang memalingkan wajah tidak peduli.” Aku mendongak menatap langit biru di atas sana sambil menarik napas panjang.

“Apa yang harus aku lakukan?!” Ia berseru tidak terima.

Aku menatapnya lekat. Dia orang baik, tidak harus diperlakukan seperti ini. Aku yakin dia tidak bersalah, hanya salah satu korban dari ketidakadilan yang sangat semu di dunia ini. Aku benar-benar paham akan hal itu.

Apa lagi yang kau perbuat kali ini, hah?! Menangkap orang tidak bersalah?! Kapan kau berhenti melakukan semua ini?! Tiba-tiba aku kesal sendiri. Mengingat orang itu membuat separuh hariku terasa tidak menyenangkan.

“Apa kau benar-benar ingin pulang, Pria?” Aku menatap lelaki itu serius.

“Maksudmu?” itu pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

***

“Apa itu?” Lelaki itu menatap sesuatu di tanganku penasaran.

“Aku pernah membantu seorang petinggi penting di daerah Asia, aku bantu sampai masalahnya benar-benar selesai dan setelah itu dia menghadiahiku sebuah VP-card, kartu ini akan mengabulkan satu permintaan terbesarku, apapun itu.” Aku menatap kartu itu sambil mengingat-ingat peristiwa setahun lalu,  permasalahan yang akan berakhir rumit jika aku tidak turun tangan.

Lelaki itu ternganga. Ia menatap kartu itu antusias. Bagaimana tidak? Kita bisa hidup bahagia seumur hidup jika punya itu.

“Kau… sebenarnya siapa?” Pertanyaan itu membuatku tersentak.

Aku menatapnya sambil menaikkan alis, “tidak perlu tahu, Pria.” Aku menggeleng.

Lihat selengkapnya