"Siapa suruh lo naik mobil gue?"
Ara mengernyit heran, sedetik kemudian baru sadar kalau dia sudah ditipu oleh Ghea. "Astaga, Ghe. Gue kirain lo yang bawa mobil. Kalau tahu gini, mending gue naik angkot!" ucapnya berapi-api.
"Oke," jawab Gavin cuek.
Ara mengernyit kembali, "Apanya?"
"Silakan keluar. Katanya mau naik angkot."
Sebelum peperangan terus berlanjut, Ghea lebih baik memilih menjadi penengah. "Jadi gini loh Kak, gue mau main ke rumahnya Ara. Lo mau nggak anterin gue?"
Gavin mengangguk. Ghea menepukkan tangannya sekali, "Makanya, sekalian aja Ara ikut. Kan tujuannya sama."
Ara meniup poninya kemudian berkata, "Gue yang nggak mau!" tandasnya.
"Lo pikir gue mau?"
"Yaudah sih, lo pikir gue bakalan kesasar kalau pulangnya nggak nebeng lo?" tanya Ara menggebu sembari membuka pintu mobil.
"Dulu sih gitu," jawabnya cuek dan langsung mengemudikan mobilnya, meninggalkan Ara yang masih emosi.
____
Lima menit berlalu, suasana di mobil tersebut masih senyap semenjak kepergian Ara.
Ghea menghela napas di belakang, kakaknya memang manusia paling tidak peka di dunia.
"Kak, putar balik jempur Ara!" ucap Ghea yang sarat akan perintah.
"Nggak."
"Kalau nggak gue laporin ke mama kalau lo ngusir Ara!"
"Terus?"
"Lo lupa kalau dulu mama sayang banget sama Ara? Bahkan gue sempat ragu, saudara gue sebenarnya lo atau Ara?"
"Terus ya, gue inget banget, dulu lo pernah nggak dikasih uang jajan sehari gara-gara buat Ara nangis, hahahahaha," lanjut Ghea dengan nada yang terdengar menyebalkan di telinga Gavin.
"Sialan." Hanya adiknya memang yang selalu berhasil mengancam Gavin.