Gavin kemudian melemparkan kunci mobilnya ke hadapan Ara. "Awas kalau lo buat kekacauan!" ancamnya.
Ara sudah duduk di kursi pengemudi, namun Gavin belum juga masuk. Gadis itu menggeram kesal sembari menurunkan kaca mobil. "Kenapa nggak masuk?"
Gavin menunduk menyamakan tingginya dengan Ara, "Lo nggak lihat tangan gue sakit? Bukain pintu!"
Ara memutar bola matanya, "Tangan kanan lo sakit juga? Kan enggak!"
"Lo berani bantah perintah gue?" ancam Gavin.
Ara berdecak, namun tetap turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang untuk Gavin. "Silakan, Bos," ucapnya sarkas.
Ara sudah akan menyalakan mesin mobil Gavin, namun lelaki itu lebih dulu memukul tangannya pelan menggunakan tangannya yang tidak sakit.
"Apa lagi? Tangan sudah sakit masih aja nyebelin!"
"Seat belt lo pasang dulu," ucap Gavin.
"Yaudah sih santai aja! Nggak usah pakai acara mukul-mukul!" ucap Ara sembari memasang seat beltnya dengan ogah-ogahan.
Setelah berdebat sepanjang perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di rumah sakit huria.
"Periksa tangan lo dulu. Gue mau bawa barang ke kamar nyokap gue."
"Lo mau lari dari tanggung jawab setelah ngebuat tangan gue begini?" tanya Gavin sembari menunjuk tangan kirinya menggunakan tangan kanannya.
Ara memejamkan matanya sejenak. Berhadapan dengan Gavin membuatnya darah tinggi. "Oke. Gue akan bertanggung jawab karena telah membuat bos gue kesakitan," ucapnya penuh penekanan.
____
"Ini nggak apa-apa. Cuma keseleo. Cukup hindari aktivitas yang berat-berat. Ini akan membaik dalam waktu kurang lebih empat hari," ucap Pak Handoko, dokter spesialis ortopedi di rumah sakit tersebut.
"Baik, Pak. Terima kasih," ucap Ara.
Dokter Handoko tersenyum. "Pacarnya dijagain, Nak. Saya permisi dulu," ucapnya dan melenggang pergi.
"Dia bukan pacar saya!" protes Ara. Namun, Handoko sudah lebih dulu pergi.
Ara berbalik menatap Gavin. "Lo dengar, kan? Cuma keseleo doang. Jangan alay!" cercanya.
"Lo juga dengar, kan? Lo disuruh jagain gue," jawab Gavin santai.
"Gue bukan pacar lo!"
"Gue bos lo kalau lo lupa."