"Lo kenapa? Kesambet?" tanya Ara saat dirinya sudah bisa menemukan dirinya kembali. Yang tadi seolah hilang dilingkupi rasa takut.
Gavin mengernyit tidak mengerti. "Gue kenapa?" Gavin bertanya balik.
Ara menggeleng. "Tumben lo nolongin gue. Kalau lo lagi normal biasanya lo yang berada di barisan paling depan untuk jahatin gue," jawabnya.
"Karena cuma gue yang bisa jahat sama lo. Yang lain nggak," jawabnya.
Ara malas memperpanjang masalah. "Jaket lo gimana?" tanyanya, mengalihkan topik.
Alis Gavin terangkat naik. "Kembaliin ke gue pas pulang sekolah," jawabnya kemudian melangkah pergi.
____
"Gimana ini? Kok Ara belum kembali ke kelas? Dia nggak apa-apa kan?" tanya Ezra pada Ghea. Saat ini mereka tengah berada di depan kelas untuk menunggu Ara.
"Tenang aja. Lo nggak lihat di video yang tadi beredar kakak gue tiba-tiba muncul? Ara baik-baik aja selama ada kakak gue," ucap Ghea penuh percaya diri.
"Setahu gue kakak lo itu musuh nomor satunya Ara," jawab Ezra.
"Lo pernah dengar petuah benci jadi cinta, kan?" tanya Ghea.
"Memang hal itu beneran ada di dunia nyata?" Ezra mengelak.
"Kenapa kalau hal itu beneran terjadi sama mereka? Lo cemburu, ya? Hayoloh," jawab Ghea setengah meledek.
Ezra berdecak. "Nggaklah. Dia udah gue anggap sahabat. Ribet urusannya kalau sahabatan tapi salah satu pihak nyimpan rasa," jawabnya enteng.
"Ghea! Ezra!" Ara berteriak padahal jarak mereka hanya sekitar satu meter.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Ezra to the point.
Sedangkan, fokus Ghea sudah berada di jaket yang dikenalam gadis itu. "Kakak gue kayaknya perhatian banget, ya sama lo?" tanya Ghea sembari tersenyum-senyum sendiri.
Ara mendelik, malas menanggapi sesuatu yang berkaitan dengn Gavin. "Temenin gue ganti baju, Ghe," ucap Ara yang merasa pakaiannya sudah berbau.
"Baju lo?" tanya Ezra.
"Gue ada baju olahraga di loker," jawab Ara sembari menarik tangan Ghea untuk pergi.
Sebelum benar-benar pergi, Ara melirik ke arah Ezra. "Kami tinggal dulu, ya," ucap Ara.
"Atau ... lo mau ikut nggak Ezra?" canda Ghea.
___