"Apaan sih! Gue bukan kambing lo yang bisa lo seret-seret!" maki Ara.
Gavin berhenti dan berbalik menghadap Ara. Alisnya terangkat naik. "Oh ya? Tapi gue tuan lo. Terserah gue dong mau gimana? Lo berani lawan tuan lo?"
Ara menggeram kesal namun tidak mampu berbuat apa-apa. Lelaki di hadapannya ini selalu saja bersikap sok berkuasa.
Gavin menyerahkan kunci mobilnya kepada Ara yang diterima gadis itu dengan ogah-ogahan.
"Seat belt lo," ucap Gavin saat Ara baru akan menancapkan gasnya.
Ara menurut saja dan memasang seat beltnya. "Lo langsung ke rumah, kan?" tanya Ara.
Gavin menggeleng, walaupun tahu Ara tidak meliriknya sama sekali. "Nggak," jawabnya pada akhirnya.
"Lo mau ke mana? Terus gimana cara gue ngambil motor gue di rumah lo? Lo nyuruh gue naik ojek online?" tanya Ara bertubi-tubi.
Gavin menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa bisa gadis blak-blakan di sampingnya adalah seseorang yang berperan penting dalam masa lalunya.
"Gue mau ke kafe anomali," jawab Gavin datar.
Ara mengangguk. Sebenarnya tidak apa, toh tujuan gadis itu memang ingin ke sana.
Akan tetapi sedetik kemudian kening gadis itu mengernyit. "Tapi lo nggak bakalan minta gue anterin pulang pas gue masih kerja, kan?"
Gavin mengangguk. "Gue pulang kalau kerjaan lo udah beres," jawab Gavin singkat namun kalimat sesingkat itu mampu membuat Ara terdiam sebentar.
Setelah mampu menetralkan jantungnya yang tiba-tiba saja bergemuruh tidak jelas, Ara berujar riang. "Di sana ada kak Tristan juga, ya?"
Gavin mengernyit. "Memangnya kenapa?"
"Nanya aja. Kok kepo banget sih jadi cowok?"
Gavin menghela napas. "Lo suka sama Tristan?" tanya Gavin tiba-tiba.
Ara mengedikkan bahu sembari tersenyum lebar.
"Gue tanya." Gavin berujar dengan suara yang sedikit tertahan.
"Kalau gue suka memang kenapa?"
"Nggak boleh!" jawab Gavin cepat.
Ara semakin bingung. Ada apa dengan lelaki di hadapannya?