Ara sudah sendiri lagi di kamarnya. Ghea dan Sandra sudah pulang sekitar sejam yang lalu. Sementara Sinta sudah menjelajah di alam mimpi.
Iseng-iseng, gadis itu mengambil amplop berwarna merah yang ditemukannya tadi. Kemudian, tangannya perlahan membuka amplop merah tersebut.
Di dalamnya ada sebuah kertas terlipat yang juga berwarna merah. Ara membukanya, kemudian terkejut dengan tulisan di dalamnya.
Jauhi dia, kamu tidak pantas dengannya.
Siapa dia? Siapa yang harus gadis itu jauhi? Siapa pengirim suratnya?
Berbagai pertanyaan kini berkecamuk di dalam kepala Ara. Namun semakin memikirkannya, semakin kepalanya ingin meledak.
"Udahlah. Paling orang iseng." Ara bermonolog sendiri.
————
Dan di sinilah gadis itu berada. Di lapangan futsal SMA Nusantara.
Pagi tadi, saat gadis itu baru membuka matanya, Ara dibuat kesal dengan pesan Gavin yang menyuruhnya ke lapangan futsal SMA Nusantara. Padahal, jelas-jelas hari ini adalah hari libur.
"Ada apa lagi?" tanya Ara saat melihat Gavin menatapnya tidak suka. Padahal, dirinya baru tiba beberapa detik yang lalu.
"Kenapa lama?!" sembur Gavin.
"Macet," jawab Ara.
"Alasan." Gavin berujar sinis.
"Yaudah sih. Kalau nggak percaya, kenapa nanya?"
Gavin mengabaikan pertanyaan Ara dan memilih mengalihkan pembicaraan. "Lo bawa yang gue minta?"
"Bawa. Air mineral sama roti, kan?" tanya Ara sembari membuka tasnya.
Ara kemudian menyerahkan sebotol air mineral dan kotak bekal yang di dalamnya ada roti selai nanas yang dibuatnya sendiri pagi tadi.
"Ini lo yang buat rotinya?" tanya Gavin. Ara mengangguk.
Gavin kemudian memasukkan kotak bekal milik Ara ke dalam ranselnya.
"Lo udah sarapan?" tanya Gavin.
"Mana sempat! Lo buru-buru banget nyuruh gue ke sini. Bikinin lo roti padahal gue masih ngantuk."
"Oh," jawab Gavin cuek.
"Gav, ini udah mau tanding. Ganti baju sekarang." Tristan tiba-tiba muncul di hadapan mereka berdua.
"Temenin gue," ucap Gavin sembari menarik Tristan untuk pergi bersamanya.
"Lo kayak cewek aja apa-apa ditemenin," ucap Tristan namun tetap juga menemani Gavin.
"Supaya lo nggak dekat-dekat sama Ara," batin Gavin.
Sebelum benar-benar jauh, Gavin berteriak. "Jangan kemana-mana, ntar susah kalau gue mau nyuruh-nyuruh lo."
Ara mengepalkan tangannya. "Dasar cowok tai!"
"Loh, Ra? Ngapain lo bicara sendiri?" Seseorang tiba-tiba datang menghampirinya.
"Nara? Lo ngapain ke sini?"