Pagi-pagi sekali, Ara kembali dibangunkan oleh ponselnya yang berbunyi tiada henti.
"Halo?" ucap Ara tanpa melihat siapa yang tengah meneleponnya.
"Jangan lupa. Roti selai nanas seperti kemarin," ucap seseorang yang berada di balik telepon.
Mata Ara langsung terbuka. "Lagi?"
"Iya. Sama jangan telat jemput gue. Gue masih malas bawa mobil," ucap Gavin dan memutuskan panggilan secara sepihak.
Gadis itu mengecek jam di ponselnya. Jam baru menunjukkan pukul empat lewat dua puluh. Ara langsung menggeram tertahan. "Waktu salat subuh aja belum," ucapnya pada diri sendiri dan kembali menjatukan kepalanya di atas bantal.
Kemudian matanya langsung terbuka mendadak. "Motor gue, kan masih ada di rumah Ghea?"
Detik setelahnya, Ara memukul pelan kepalanya. "Lupa gue. Ternyata kemarin lusa dibawain sama kak Tristan ke rumah," ucapnya dan kembali tertidur.
————
"Ra, surat warna merah yang ditemuin di loker lo waktu itu isinya apaan?" tanya Ghea saat mereka bertiga berangkat sekolah bersama dengan mobil Gavin.
"Hah? Oh, orang iseng doang," jawab Ara.
"Iseng gimana? Isinya apaan?"
"Bagus. Tanya terus, Ghe," batin Gavin.
"Nggak penting kok."
"Kalau nggak penting apaan? Jangan-jangan beneran secret admirer lo?" tanya Ghea sembari menatap Gavin, ingin melihat perubahan raut wajah kakaknya.
"Nggak gentle banget tuh cowok," gumam Gavin tiba-tiba.
"Bukan secret admirer. Nggak penting, kok."
"Terus apaan, Ara?" Ghea bertanya, gemas.
"Nanti aja, Ghea. Nggak enak ngomong di sini," ucap Ara yang sukses membuat Gavin sedikit tersentil.
Ghea tersenyum geli melihat Gavin yang tiba-tiba memalingkan muka dengan wajah kusut. Lucu sekali kakaknya kalau sedang jatuh cinta.
————
"Ghe, kebelet nih. Temenin ke toilet dong," bisik Ara pada Ghea yang berada di bangku depannya.
"Kuy," jawab Ghea. Kemudian mereka berdua berdiri untuk meminta izin pada Bu Ani.
"Bu, izin ke toilet," ucap Ara.