"Tipe cowok lo seperti apa?"
"Memang kenapa?"
"Kalau seandainya gue bilang, gue tertarik sama lo, gimana?" tanya Gavin.
"Tertarik bikin gue tersiksa?"
"Tertarik dalam artian gue suka sama lo. Lo percaya?"
Ara menggeleng. "Bukannya lo suka Kak Lovita?"
"Kenapa Lovita?"
"Kalian dekat banget."
"Lo cemburu?" tanya Gavin.
"Lo kenapa, sih tiba-tiba nanya hal begini? Bukannya lo benci banget sama gue?"
"Gue rasa, lo lumayan menarik," ucap Gavin sembari menatap Ara serius.
"Sial. Kenapa jantung gue serasa mau lompat dari tempatnya?" batin Ara.
6 tahun silam.
Gadis kecil berumur sepuluh tahun tersebut masih sibuk menatap kakak kelas yang sudah lama disukainya, namun yang ditatap masih sibuk mengoper bola ke temannya dengan keringat yang sudah bercucuran.
"Ganteng," gumam Ara yang masih kecil tanpa sadar.
"Mana, Ra? Mana cogannya?" celetuk Ghea yang sedari tadi sibuk menonton orang bermain futsal di lapangan dekat rumahnya.
"Udah lewat," jawab Ara ngasal.
Setelah permainan berakhir, lelaki itu segera menghampiri adiknya.
"Ghea, ayo pulang," ucapnya.
"Aku ikut, ya?" mohon Ara.
"Nggak! Sepeda gue nggak bisa bonceng dua orang!" jawabnya ketus.
"Yah, masa aku jalan kaki?"
"Kak Gavin, boleh ya?" Ghea ikut campur tangan.
"Nggak!" jawabnya dan berlalu pergi menuju sepedanya.
"Ra, aku ikut jalan aja deh sama kamu," ucap Ghea setelah kepergian kakaknya.
Ara langsung tersenyum yang membuat deratan gigi-giginya yang rapih muncul. "Nggak perlu. Cepetan. Nanti kak Gavin nungguin."
"Beneran? Kamu nggak bakalan nangis aku tinggalin?"
Bocah kelas empat sekolah dasar tersebut mengangguk. "Aku bukan anak cengeng. Kata mama jadi perempuan harus kuat," jawabnya polos.