"Apa tadi? Amplop merah?" tanya Ara tiba-tiba dengan dahi mengernyit.
"Gue salah lihat kali," ucap Gavin.
Setelah perkataan Gavin barusan, Ara tidak banyak berbicara. Entah mengapa, perkataan tersebut mengusiknya. Walaupun yakin, tidak mungkin sahabatnya sendiri adalah dalang di balik teror yang dialami Ara akhir-akhir ini.
Ting ... ting ... ting....
"Gue permisi duluan, ya. Gue ada ulangan habis ini soalnya." Nara pamit duluan setelah mendengar suara bel pertanda jam istirahat sudah habis.
Gavin dan Ara mengangguk. Kemudian, Ara langsung menatap Gavin serius.
"Lo seriusan lihat dia megang amplop merah?"
"Kenapa?" tanya Gavin.
Ara menggeleng. "Nggak apa-apa. Lo nggak perlu tahu."
"Kenapa gue nggak perlu tahu?"
Ara mengedikkan bahu kemudian pergi meninggalkan Gavin.
"Pasti ada yang nggak beres," ucap Gavin.
____
Hari-hari selanjutnya, Gavin selalu mengawasi gerak-gerik Ara tanpa sepengetahuan gadis itu.
"Ngapain, sih ke loker jam istirahat? Bukannya ke kantin. Makan, biar kenyang," ucap Gavin.
Gadis itu membuka lokernya dengan perlahan. Setelah membuka lokernya, Ara refleks mundur.
Lokernya dipenuhi dengan foto papanya dengan darah yang bercucuran. Kemudian, tidak lupa ada surat berwarna merah di sana. Ara membukanya dengan tangan gemetar.
Jangan pacaran sama dia. Gue suka sama dia. Sudah cukup keluarga lo ngehancurin keluarga gue.
"Keluarga gue menghancurkan keluarganya dia? Apa maksudnya?"
Ara berjongkok. Kakinya tiba-tiba melemas. Tiba-tiba, suratnya ditarik oleh seseorang.
"Jadi ini alasannya?"
Ara mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Ke kenapa lo bi bisa ada di sini?"
Gavin membacanya. Kemudian, tangannya bergerak merobek surat di tangannya. Setelahnya, mengambil semua foto-foto papanya yang berada di loker Ara dan membuangnya.
"Gue yakin cewek itu dalangnya," ucap Gavin dengan amarah yang berusaha ditahan.