Waktu aku kecil dulu, aku ingin sekali tinggal di kota Medan, bagiku sesuatu yang ramai itu dan teran gitu menyenangkan. Waktu aku kelas dua SD, kami pergi berkunjung ke rumah tante[1] dan uda[2] di kota Medan untuk menghabiskan libur semester. Itu adalah pengalaman pertamaku pergi ke kota, setelah aku bisa mengerti dan memahami sesuatu. Maksudku dulu sewaktu aku masih balita dan belum bisa mengungat apa- apa mak-e[3] sering membawaku ke sini. Aku begitu suka di sini, ramia, banyak kendaraan berlalu lalang, rumah yang bagus dan juga mall, dan berbagai hiburan lainnya. Setiap pagi hari aku menonton film kartun, spongeboob, ben 10, tom & jerry, courious George, dora dan lain- lain. Sarapan, lalu pergi jalan- jalan. Bagiku hal- hal seperti itu sungguh menyenangkan.
Setelah libur usai, biasanya ibu guru selalu menyuruh kami membuat cerita berupa pengalaman liburan. Kebanyakan dari teman- temanku pasti akan menulis tentang kegiatannya, baik itu membatu orangtua melakukan pekerjaan rumah atau bekerja di sawah. Aku cukup beruntung karena punya keluarga di kota, sehingga aku bisa pergi liburan.
Aku menunjukkan ceritaku kepada temanku, mereka telihat iri, karena aku bisa pergi jalan- jalan ke kota. Kalau boleh jujur sebenarnya aku sangat bangga karena banyak dari teman- temanku tidak pernah pergi liburan ke kota, biasanya mereka hanya akan di rumah, atau berkunjung ke rumah kerabat yang masih berada di daerah pedesaan. Saat aku menceritakan pengalamanku, mereka cukup takjub dan agak iri, mungkin dala hati mereka ingin pergi juga berlibur ke kota.
***
Sebagian masyarakat di desaku adalah petani, profesi yang umum di daerah pedesaan, ayah dan ibuku juga tentunya. Tetapi selain sebagai seorang petani, pak-e[4] juga berkerja sebagai guru honor di SMK swasta yang hampir tutup, kerena jumlah murid yang sangat sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Kalau mak-e bekerja sebagai tukang jahit pakaian. Bagiku profesi utama kedua orangtuaku adalah petani, karena kami hidup dari hasil panen padi. Meski orang mengatakan kalau mak-e adalah seorang wiraswasta dan pak-e adalah seorang guru aku tidak terlalu suka.
Kampungku tidak terlalu sepi dan tidak terlalu ramai, dan cukup berkembang juga, listrik sudah mengalir dan jalanan juga sudah aspal. Aku tinggal di jalan SMA, rata- rata keluarga yang tinggal di jalan adalah orang berada, selain kami tentunya. Rumahku hanya rumah kontrakan papan dengan satu kamar, kamar mandi terpisah lantai semen, atap seng tanpa plafond dan tanpa teras. Banyak yang bolong baik lantai atau atap, di samping ruamah juga ada kali kecil yang akan meluap saat musim penghujan dan akan kering saat musim kemarau. Rumah ini sudah sangat jelek, memang tidak lapuk tapi terlihat tua seperti bagunan zaman dulu. Bisa jadi ini bangunan zaman dahulu.
Rumahku berdempetan dengan rumah sepasang kakek dan nenek yang berdinding beton. Lantai rumah mereka semen tapi berada jauh lebih tinggi dari lantai rumahku, nampaknya sewaktu hendak membangun, rumah itu terlebih dahulu ditimbuni tanah agar lebih tinggi. Setiap musim penghujan adalah masa- masa menegangkan, panci- panci bertebaran di setiap seng yang bolong, sungai yang meluap hampir membanjiri rumah, hanya doa yang bisa menyelamatkan.
Tidak hanya di ruang tamu, kamar dan dapur juga tidak luput dari panci- panci penampung tetesan hujan. Miris memang. Suatu kali pak-e mengambil bambu dan membeli plasti meteran. Dia menggunakan bambu itu sebagai penyangga plastic dan jadilah plafon plasti ala pak-e di kamar. Maksudnya tidak lain adalah jika sewaktu- waktu hujan deras di malam hari, kami tetap bisa tidur nyanyak. Ide itu ternyata sangat ampuh, air itu tidak menetes ke bawah lagi, tetapi tertampung di plafon plastic.persis seperti tenda pedagang di Pasar Porsea[5]. Setiap pagi sehabis hujan mak-e akan membuang airnya dengan menggunakan tongkat kayu dan ember.
Rutualnya adalah dengan menggeser genangan air pada sisi plastik dengan tongkat kayu, hingga air tumpah ke ember. Begitu seterusnya hingga air habis dari segala sisi plafon. Suatu ketiga, hari masih pagi dan aku masih tetidur lelap dalam kehangatan jeket, kaus kaki, celana panjang, dan kelambu –biasanya mak-e menyuruh menggunakan pakain hangat karena aku suka menendang selimut saat sedang tidur- mak-e melakukan ritual pembuangan genangan air itu. Ember sudah siap menerima air yang akan jatuh, tapi sialnya air itu lebih suka jatuh padaku dari pada jatuh ke mulut ember. Sontak aku kaget dan segera bangun, beberapa saat aku bengong lalu menangis. Jelas saja aku menangis, aku bangun dalam keadaan terkejut daan sudah basah kuyup.
“Hwaaaaaa ……” tangisku.