Childhood Journey

R. C Febiola P
Chapter #2

Bab II

Aku sekolah di SD pak-e dulu. Hanya bangunannya saja yang berbeda, dulu sekolah itu adalah HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang setara dengan SD, bekas sekolah yang didirikan orang Belanda. Kini bangunannya sudah tidak digunkan sebagai SD lagi tetapi sebagai tempat anak- anak sekolah Minggu. Di bangunan inilah berdiri SD ku, SD N 173636 Narumonda. Lokasinya tentu saja masih di Narumonda I. Di sisi lain SD ku beriri SMP N 1 Narumonda dan di sisi lainnya Gereja HKBP Narumonda, disinilah kami beribadah setiap minggunya, maksudku yang beribadah di sana adalah orang tua dan yang sudah cukup umur, biasanya dimulai dari siswa SMP. Kalau anak sekolah minggu beribadah di HIS diajari oleh guru sekolah minggu yang semuanya adalah anak SMA.

           Mak-e, selalu mengajariku dan membantu menyelesaikan PR sekolahku. PR menulis huruf tegak bersambung, matematika, dan membaca. Setiap pulang sekolah aku harus menyelesaikan PR ku terlebih dahulu agar mak-e memperbolehkanku pergi bermain. Jika tugas sudah selesai aku akan bermain hingga sore, mandi, kemudian bermain lagi hingga malam. Ini kebiasaanku, mengingat kami tidak mempunyai TV seperti para tetangga yang lainnya.

           Siang ini aku pergi ke rumah Gita, mereka membuka kedai teh, dan menaruh TV nya di kedai agar semua pengunjung bisa menonton. Tentu saja aku juga, ituu alasan utamaku. Aku suka saat dia ada di sana, sambil menekanp nekan tombol remote TV, dia akan mencari- cari progam TV yang kami sukai. Kebanyakan yang nongkrong di kedai adalah bapak- bapak, mereka lebih suka merokok sambil membaca koran, atau juga bermain catur. Pak-e juga sering di sini, jadi kalau aku lapar, aku bisa minta uang untuk membeli jajanan.

           Aku sebenarnya lebih suka menonton film animasi seperti doraemon, barbie, spongeboob, dan film sejenisnya. Tetapi Gita lebih suka menonton film sperti legenda legenda. Aku sih tidak terlalu menyukai, kami berganti film setiap satu film jeda. Kalau film horror, adalah film yang aku tidak sukai. Otakku sangat cepat berimajinasi, ditambah lagi jalan menuju kerumahku ada perkebunan kopi yang tidakk terlalu luas dan di pinggir jalan itu ada pohon mangga. Aku takut jika aku berjalan sendiri di malam hari sunder bolong yang di film itu akan muncul dari pohon mangga.

           Hari sudah sore, aku pamit pulang “Git, aku mau mandi dulu ya, habis mandi aku datang lagi.”

           “Ok aku juga mau mandi, pasti ke mual bagot[1] kan,” katanya.

           “Iya”

Lihat selengkapnya