Hari libur menjadi hari yang sudah ku nanti- nanti, sudah lama mak-e berjanji akan membawa kami ke kota Medan, untuk menemui kerabat ketika libur semester. Bukan karena kami punya banyak duit, tetapi memang dananya sudah dikirim oleh tulang[1] yang ada di Jakarta. Dia sudah berjanji, akan mengirim uang untuk ongkos liburan ke Medan.
Senang, tentu saja. Ini pengalaman pertama berkendara naik mobil dengan jarak yang cukup jauh. Biasanya aku hanya pernah naik mobil beberapa menit saja. Itupun hanya ke pasar Porsea. Sebenarnya mak-e pernah bilang, dulu sewaktu aku masih balita, mak-e sering membawaku ke Medan. Ya tapi itu dulu, semua tidak terekam di memori otakku. Pengalaman dimulai sekarang, saat aku sudah mengerti situasi.
Kesan pertama yang kudapat setibanya di Medan adalah ramai dan terang. Sebagai akan yang tinggal di kampung, aku suka keramaian, karena ini merupakan hal baru bagiku. Kedua terang, mengingat bahwa aku adalah anak yang penakut, tentu aku sangat suka lingkungan yang terang. Setidaknya semua tampak jelas, jika ada benda penerang. Ketiga panas, tentu panas, karena di setiap keramaian banyak aktivitas dan gesekan sehingga menghasilkan panas.
Bising, karena banyak kendaraan yang berlalu lalang. Tidak bisa bermain sembarangan di jalan raya, berbeda dengan di kampung, dimana kendaraan saja jarang melintas. Semua sungguh berbed dan semua sungguh baru di mataku. Rumah dengan kamar mandi menyatu, TV dan sofa, air yang mengalir dari keran dan tidak ada lantai atau atap yang bocor. Begitu menyenangkan, tidak terganggu menyapu saat ada lantai yang pecah, atau bahkan tidak perlu khawatir jika hujan turun untuk menaruh ember penampung. Tidak perlu menimba air, memasak menggunakan kompor, tidak perlu kayu bakar. Simple, bahkan air minum juga tinggal membeli per gallon. Dengan segala ke instan-an dan kemegahannya, aku betul betul menyukai hidup di kota.
***
Hari pertama dihabiskan dengan pergi ke swalayan. Heran benar aku, di kampung tidak ada yang menjual barang di dalam ruangan yang wangi dan penuh lampu, ada eskaltor dan troli untuk meletakkan barang. Setiap barang sudah ada harganya. Wahhhhh, itu yang ada dipikiranku, kagum tentunya. Andai di kampung ada tempat seperti ini pasti menyenangkan.
Di kampung hanya ada pasar tradisional, tidak rapih dan amburadul. Besih? Tentu saja tidak. Bahkan terkesan kotor dan bau. Tetapi suasananya tentunya lebih ramah dan lebih banyak interaksi antara penjual dan pembeli, untuk tawar menawar barang demi mendapatkan harga yang lebih murah.
Aku tampak sangat kampungan jika dibandingkan orang lain yang berlalu lalang di swalayan ini. Nampak jelas dari kulit, tingkah laku dan penampilan. Mereka terlihat lebih putih dan bersih, rapih dan tidak tampak kagum dengan swalayan ini, berbading terbali denganku. Kulitku hitam, dan dekil, di tambah lagi dengan gayaku yang seperti orang lepas dari kandang. Mungkin begitulah seseorang yang melihat sesuatu yang baru.