Sekarang adalah waktuku untuk menyelesaikan tantangan. Tantangan yang kumaksud adalah menaklukkan sepeda. Aku benar- benar tertantang untuk bisa megendarai sepeda. Terlebih aku sudah punya sepeda kecil yang sangat cocok digunakan anak kecil untuk belajar bersepeda.
Setiap ada kesempatan aku akan berlatih, setiap pulang sekolah, bahkan setelah mandi, bahkan di dalam rumah aku juga berlatih. Tidak kenal lelah, bahkan setelah berkali- kali gagal dan terjatuh. Beberapa temanku dan tetanggaku sudah bisa mengendarai sepeda, aku cukup iri pada mereka, karena aku belum bisa. Salah satunya adalah Steyvan, dia anak tetangga di depan rumahku, aku lebih tua dua tahun darinya. Melihat dia lebih dahulu memiliki sepeda karena ekonomi keluarganya yang mencukupi, aku sudah iri. Terlebih lagi dia lebih dahulu bisa mengendarai sepeda dari padaku.
“Van, kek mana kau buat biar bisa naik sepeda?” tanyaku.
“Bah, kek gitu lah, gak tau aku bilangnya. Aku bisanya waktu belajar di rumah, pas mau ku kayuh tiba- tiba bisa,” katanya.
Maka aku pun mulai bersepeda di dalam rumah, berharap aku juga mengalamami kejadian yang sama dengan Steyvan, sehingga bisa mengendarai sepeda. Tapi ujung- ujungnya aku malah menabrak tembok dan terjatuh. Pak-e jadi melarangku bermain di rumah, katanya bersepeda di dalam rumah itu tidak bisa, karena bukan hanya tembok, mungkin rak piring juga bisa menjadi korban tertabrak akibat kelakuanku.
Halaman depan rumah adalah tempat yang tepat untuk belajar bersepeda menurut pak-e. Aku akhirnya mengikutinya, namanya harus menghormati orangtua. Meski tidak bisa naik sepeda seperti yang Steyvan katakan, mungkin ada cara lain bagiku untuk bisa menggendarai sepeda.
Suatu sore, aku mulai mengendarai sepedaku di aspal depan rumah. Ku kayuh pedal dengan kaki kanan, aku oleng ke kiri, ku kayuh lagi dengan kaki kiri, aku oleng ke kanan. Saat ku paksakan tidak menahan beban dengan salah satu kakaiku aku jatuh. Tidak menyerah, aku terus mencoba berkali kali.
Kucoba mengayuh dengan kaki kanan, dan mulai mengangkat kaki kiri untuk bertumpu di pedal sebelahnya, dan ya aku berhasil, sebentar. Tau di balik layar, ternyata pak-e memegang kursi belakang sepeda lalu mendorongnya pelan, sehingga aku bisa mengayuh sepeda dengan benar. Meski hanya sesaat aku bisa mengedarai sepeda, rasanya sungguh menyenangkan. Aku semakin terpacu untuk segera bisa bersepeda. Kurang lebih seminggu, aku belajar bersepeda secara ototdidak hingga akhirnya berhasil. Senangnya bukan main, aku bahkan pamer kepada orang- orang bahwa aku sudah bisa menggendarai sepeda. Sebagai orang dewasa yang baik mereka merespon dengan antusias, bahkan memuji. Suatu hal yang positif tentunya.
“Allah bisa karena biasa”, quotes yang tepat untuk menggambarkan pengalaman ini, karena semakin sering belajar akan semakin banyak pengetahuan baru. Bahkan saat kita sudah bisa mengendarai sepeda, itu baru awal. Banyak orang yang bahkan bisa melakukan atraksi dengan sepedanya. Bukan hanya sebagai alat untuk mempercepat kita menuju tujuan, tetapi sebagai sarana menunjukkan bakat yang dapat menghasilkan uang. Selain itu ada juga orang yang punya kesenangan bersepeda dengan kencang, biasanya mereka adalah orang- orang yang ikut turnamen balap sepeda. Baik orang yang menggunakan sepeda untuk melakukan atraksi atau balapan tentu menyayangi sepeda mereka. Bahkan mereka melakukan modofikasi khusus pada sepedanya demi meningkatkan keterampilan dan kemampuan masing- masing.