Hari- hari di sekolah akhir- akhir ini cukup menyenangkan. Penghinaan kepadaku, karena dulu dapat juara kelas sudah tidak terjadi lagi. Sekarang aku tidak termasuk jajaran siswa yang berprestasi lagi, selain itu teman- teman yang sama sepertiku lebih menyenangkan. Tidak ada beban juara atau lebih pintar lagi, rasanya lebih bebas tanpa harus berusaha bertahan di bawah bayang- bayang juara. Karena menurutku, juara di kelas itu tidak menentukan kesuksesan kita nantinya.
Kalau menurut ibu wali kelasku yang sekarang, pak-e adalah siswa yang pintar dan hampir setiap semester di sekolah, pak-e pasti dapat juara. Tapi lihat sekarang, ternyata pak-e juga tetap menjadi seorang petani, meski di ajuga guru di SMK swasta. Tapi tetap saja, bukan seorang PNS. Mak-e yang sering menyinggung nyinggung nilai dan prestasiku, bukan main kesalku saat mak-e membandingkan aku dengan temanku yang dulu suka membuli aku. Sekarang malah dia yang mendapat juara paling tinggi di kelasku. Untung pak-e tidak seperti mak-e,mungkin dia ingin melihat kedepannya seperti apa aku.
Pak-e punya prinsip yang mirip dengan orang bijak yang pernah berkata begini “Tidak penting bagaimana awalnya, yang penting adalah hasil akhirnya.” Mungkin itu karena pengalamannnya dulu. Jadi kita tidak boleh menganggap sepele orang sekarang, bisa jadi suatu hari nanti kita membutuhkan pertolongannya. Maka berbuat adillah pada semua orang, karena kita tidak tau bagaimana dia akan membalas kekesalannya pada kita suatu hari nanti.
Bisa jadi kita beruntung jika orang yang sudah kota sakiti memaafkan kita, jika tidak entah apa yang akan dilakukannya nanti pada kita. Tindakan yang kita ambil akan menghasilkan titik- titik yang suatu hari nanti akan terhubung, maka dari itu dalam mengambil suatu tindakan atau keputusan kita harus lebih bijak dan berhati- hati.
***
Kembali ke kelas, hari ini kami sedang belajar pelajaran IPA, bagiku belajar IPA sangat menyenangkan, karena kita belajar tentang makhluk hidup di sekitar kita. Aku duduk satu meja dengan Lina. Di depan kami duduk Ramsi dan Desti, saat ibu guru menyuruh kami untuk kerja kelompok mengerjakan uji kompetensi, mereka memutar bangku ke belakang. Sekarang aku duduk di hadapan Ramsi dan Lina duduk dihadapan Desti.
Untuk mempercepeat menyelesaikan tugas yang terdiir dari 20 soal. Kami berbagi tugas, aku bertugas untuk menjawab soal nomor 1-5, Lina mengerjakan nomor 6-10, Desti mengerjakan nomor 10-15 dan sisanya dikerjakan oleh Ramsi. Tidak butuh waktu lama, kami akhirnya selesai menemukan jawaban dari setiap nomor. Mudah saja, soalnya tugas kami adalah soal isian, dan selanjutnya semua jawaban akan di satukan di lembar yang di pegang oleh Desti.
Sebagai siswi yang tulisannya paling bagus dan paling rapi dikelas, Desti kami pilih untuk menyatukan semua jawaban soal yang akan dikumpulkan ke ibu guru. Kalau aku, tulisanku lebih mirip garis- garis bersambung yang sulit di baca, mungkin lebih buruk dari tulisan dokter. Bahkan tulisan adikku lebih rapi dariku, Ramsi saja, yang merupakan siswa, tulisannya lebih rapid an lebih indah dari tulisannku. Kalau dengan tulisan Lina sih kami tidak terlalu berbeda. Tapi tulisannya masih lebih mudah untuk dibaca.
Setelah semua jawaban terisi dengan rapi, masih ada sisa waktu sebelum pengumpulan tugas. Ramsi mulai bercerita bahwa bangunan bekas penjajahan belanda itu angker. Termasuk sekolah kami.
“We, tau nya kalian kalau ternyata sekolah kita ini angker loh”
“Mana mungkin, jangan bohonglah kau” timpalku.
“Ehh Feb, dengarlah dulu ceritaku ini”