“Halo Loklok, apa kabar?” tanya ibu cantik bergamis dan berjilbab biru
Yang ditanya diam.
“Jadi apa yang dirasa hari ini?” tanya ibu itu lagi
Yang ditanya masih diam.
“Boleh ibu liat deili jurnelnya?”
Yang dipinta memberikan buku yang sejak tadi didekapnya.
Ibu itu mulai membuka sampul buku dan melihat halaman pertama. Kosong. Dibuka lagi halaman kedua, sama. Kosong. Dibuka lagi halaman berikutnya, ada coretan pensil membentuk lingkaran yang tidak bulat. Kemudian dibuka lagi halaman-halaman berikutnya, kosong. Semua sama hingga akhir halaman ke empat belas.
Ibu tadi tersenyum melihatnya, kemudian tersenyum juga kepada bocah perempuan yang dibalut dengan seragam putih merah yang nampak luti. Yang diajak tersenyum tidak membalas, melihat ajakan senyum pun tidak. Matanya mengarah ke lawan bicaranya dengan segala nanar dan ketidak fokusan. Di antara kelopak mata itu terlihat sekali beban menggelayut. Di kedua kantung mata yang sembap dan menghitam itu terlukis kesedihan tak berujung.
Ibu tadi tersenyum tulus dengan raut iba. Tangannya mencoba meraih tangan yang tergeletak lemah di atas meja. Tangan yang diraih mengelak melepaskan diri dari genggaman. Meski begitu, tatapan matanya masih saja begitu. Kosong. Seperti tanpa cerita dan cita.
“Baiklah, apa yang Loklok mau hari ini?” tanya ibu itu berusaha mendapat perhatian dari seorang bocah tanpa daya itu
Yang ditanya tetap diam.