Chimera Project : The Gifted Ones

Mordekhai Von
Chapter #1

Chapter 1 Mimpi Moira

Aku tidak tahu dimana aku berdiri saat ini. Tempat ini terasa asing bagiku. Di sekelilingiku diselimuti kabut yang pekat, aku bahkan tak dapat memandang kakiku sendiri. Aku seperti mengambang bak hantu di kegelapan. Inderaku yang peka bisa merasakan adanya kengerian di tempat ini. “Moiraaa...” Suara seorang wanita sayup-sayup seperti berbisik memanggilku. Aku menoleh ke kanan kiri mencari sumber suara, namun tak kutemukan. Aku memutar tubuhku, dan di ujung sana sebuah pintu besar yang mencolok nampak gagah berdiri di tengah kabut.  “Moira..,” suara itu mendesah lagi, begitu lemah dan lirih.

Suara itu... aku yakin berasal dari sana, dari arah pintu besar itu. Dadaku berdebar, napasku tercekat. Apa yang harus aku lakukan?  Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku dan memberanikan diri menggerakkan kakiku, selangkah dua langkah ke arah pintu. Pintu itu seperti sebuah gerbang bangunan yang besar. Makin mendekat, aku bisa melihat sebuah gambar segitiga sama sisi yang besar di tengahnya. 

Aku meneruskan langkahku dengan perlahan. Kengerian itu semakin terasa. Bulu kudukku meremang. Kini aku bisa melihat dengan jelas bahwa gambar segitiga di gerbang itu memiliki sebuah lingkaran di tengahnya. Di sudut atas terdapat gambar kepala singa yang mengaum. Disudut kiri gambar kepala naga. Sedangkan gambar kepala kambing ada di sudut kanan. Langkahku terhenti memperhatikan lambang ini. Aku tak pernah melihat lambang yang seperti ini ...tapi aku tahu, ada sesuatu yang mengerikan dibalik pintu gerbang ini, menantiku. Bangunan sekte apakah ini? Aku memutuskan untuk menjauhi pintu itu, kakiku sudah mundur beberapa langkah saat itulah , gerbang bergerak terbuka secara perlahan lahan, suara derit pintu besar dan kuat terdengar dari dalamnya, dan nampak sesosok tangan menjulur keluar mengarah ke arah tubuhku dengan jemari penuh luka dan berdarah terulur. Seraut wajah wanita berambut kusut dengan suara lemah dan terbata bata, memanggil namaku, "Moira... ” Suaranya wanita mencoba memanggilku berkali-kali tersirat kelelahan dan nada putus asa saat ia mencoba mengucapkan namaku. Wanita itu mengulurkan tangannya untuk mencoba meraih tubuhku dan menatapku dengan pandangan memohon. “Tolong kami, Moira... ” bisiknya. Wanita ini mengenal nama dan meminta tolong padaku.

Apakah kami saling mengenal? Aku mencoba menatap wanita itu dengan lebih seksama untuk mengenalinya. Saat itulah aku melihat bahwa di kedua bola mata wanita itu mengucur air mata darah. Bibirnya pecah dan wajahnya penuh luka-luka yang mengerikan. Tangannya makin mendekat padaku. Ketakutanku memuncak, aku melangkah mundur, terjungkal jatuh dan menjerit. Aku terbelalak dan terbangun dari tidurku. 

“Oh, cuma mimpi. Cuma mimpi. Syukurlah.”  Nafasku terasa sesak, dadaku seperti terhimpit oleh sesuatu yang berat, keringat membanjiri tubuhku namun perlahan lahan perasaan lega mulai menguasai tubuhku, tanganku yang terasa dingin mencengkeram sprei tempat tidurku mulai menghangat, dan aku mulai bisa menguasai seluruh tubuhku, lalu aku berusaha untuk bangun. Otot-ototku menegang akibat mimpi burukku. Dadaku yang berdebar kencang mulai berdetak normal, aku duduk di tepi tempat tidurku  

“Mimpi buruk,” aku mengusap keringat di keningku. Mimpi buruk yang menyeramkan ini tak hanya sekali, namun berulang kali datang dalam mimpiku. Walau demikian, aku tak pernah terbiasa dengan mimpi itu. Setiap kali kengeriannya terasa baru, seolah itu adalah mimpi buruk baru yang belum pernah aku alami.

Wanita yang meminta tolong terus menerus padaku, siapakah dia? Dan gerbang besar itu, bangunan apakah itu? Ada dimana? Aku meraih gelas di sisi ranjangku dan membasahi tenggorokanku yang kering. Aku melihat jam beker kecil di sisi ranjangku. Masih pagi, baru pukul 05.00 WIB. Kalender menunjukkan tanggal 15 Maret 2014. 

 “Moira, sudah bangun ya? Sarapan sudah siap,” ujar Mama yang mengintip di depan pintu kamar seraya tersenyum. “Ya, Ma. Moira mandi dulu ya.” Aku melipat selimut dan merapikan sprei yang kusut, meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Usai mengalami mimpi buruk, siraman air dingin shower sungguh menyegarkan, menghalau perasaan resah dan pikiran kacauku. Kutatap wajahku di cermin, wajahku nampak kuyu dan lelah juga sangat pucat. Kukeringkan rambutku yang lurus sepinggang dengan hair dryer, bola mataku yang besar, nampak menghitam dikelopak mata bawah, tanda kelelahan akibat kurang tidur karena memikirkan nasib skripsiku.

Aku memoles bibirku dengan lipstik merah muda cerah pemberian Andrian teman baikku, yah saat ini status kami adalah teman baik, entah nanti ke depannya, pikirku tersenyum. Saat itulah sesosok bayangan tangan terulur dan wajah seorang wanita penuh luka itu muncul dari dalam cermin. Sesaat aku terpana, kemudian aku menjerit. Lipstikku terpental.  

Langkah kaki Mama kudengar bergegas datang, “Ada apa, Moi?” Aku menoleh menatap Mama yang balas menatapku dengan pandangan kuatir. Kala aku menatap cermin lagi, bayangan wanita itu tak ada di sana. Cermin itu cermin biasa yang memantulkan bayangan tubuhku dan Mama. Sepagi ini aku sudah berhalusinasi? Aku mendesah, “Tidak ada apa-apa, Ma...ngg..tadi ada tikus. Ya, Tikus. Tikusnya besar banget. Aku sampai kaget ngeliatnya tadi.”

“Oh, cuma tikus. Kirain ada apa, Moi.” Mama melangkah keluar kamar dengan cepat. Aroma kentang goreng dari dapur tercium sedap di hidungku. Mamaku adalah orang tua tunggal. Ia sudah begitu repot menafkahi kuliahku dan adikku serta biaya hidup kami sehari-hari. Menceritakan hal remeh seperti mimpi burukku padanya, hanya akan menambah beban pikirannya saja bukan? Aku menghapus lipstikku yang mencoret keluar dari garis bibirku, merapikan rambut dan berganti pakaian. Saat aku ke meja makan, sarapanku telah terhidang di meja. Aku duduk di meja makan bersama mama dan mulai menyantap sarapan pagi ku. Tayangan berita TV pagi itu menayangkan berita tentang seorang gubernur yang mencalonkan diri menjadi menjadi presiden.

Pikiranku melayang ke skripsiku yang masih menunggu hasil di terima atau tidak sebagai tanda kelulusanku. Hari ini aku sudah janji temu dengan dosen pembimbing skripsiku Prof. Julian Andono. Aku harap skripsiku bisa diterima. Aku menyantap sarapanku dengan cepat, memeluk Mama tersayangku dari belakang serta mengecup pipinya yang tirus dan berpamitan berangkat ke kampus. “Hati-hati di jalan, Moi. Semoga berhasil skripsinya ya,” seru Mama.

***

Aku Sampai di kampus, aku menyusuri gedung kampusku, tak terasa aku sudah 3,5 tahun melewati berbagai kegiatan belajar disana, terbayang saat aku pertama kali mendaftar disana untuk memuaskan rasa ingin tahuku yang besar. Ya benar beberapa temanku menjulukiku putri kepo, karena aku selalu kritis bertanya sampai rasa ingin tahuku terjawab. Aku tidak akan pernah berhenti bertanya dan bertanya sampai benar-benar aku mengetahui segala sesuatunya, banyak mata kuliah yang unik di sana, teman-temanku juga bersama sama sering mengikuti berbagai seminar praktis diluar kampus yang berkaitan dengan psikologi, seminar hipnoterapi, seminar grafologi, seminar NLP, seminar body language. Aku ikuti seminar-seminar untuk memuaskan rasa ingin tahuku dan juga suatu kesempatan untuk mendapatkan charge seminar dengan harga mahasiswa, walau uang jajanku yang tak seberapa habis ludes, namun aku puas, dalam beberapa seminar aku juga ditunjuk sebagai koordinator, sehingga dengan mengumpulkan beberapa teman, membuatku mendapatkan ikut seminar tanpa bayar atau hanya dengan separuh bayar, seminar yang membuatku terkesan adalah seminar mengenai hipnotis, aku sangat suka, bahkan aku mendalami hipnotis untuk menterapi anak anak berkebutuhan khusus saat aku magang di akademi okupasi.

Pikiranku menerawang, oooh... sebentar lagi kutinggalkan gedung ini bila skripsiku diterima dan akan melamar pekerjaan, aku juga teringat antar teman saling membaca bahasa tubuh, mencoba menebak dan mengatasi masalah yang ada dengan memberikan saran saran psikologi.

Uh, aku merasakan waktu yang begitu cepat berjalan, belum lagi debat-debat kami di kampus yang berjalan seru baik dengan alat bantu, formulir psikotes, assesmen dan berbagai metode. Langkahku tak terasa sudah mencapai ruangan para dosen, ruang Prof. Julian ada di ujung sendiri, paling pojok, ruangannya besar, karena sering dibuat presentasi para dosen, aku mempercepat langkahku kesana .

Dengan perasaan dag dig dug, aku mengetuk pintunya.

“Masuk!” sebuah suara bass yang berwibawa membalas ketukanku. Kubuka pintunya perlahan. Prof. Julian, dosen pembimbingku, seorang pria separuh baya yang mempunyai mata setengah mengatup kelopaknya, dan karena bola matanya tersembunyi dikelopak matanya tersebut.

Wajahnya nampak datar dan sulit ditebak ekspresinya ditunjang dengan bibirnya yang jarang tersenyum dan datar, benar-benar sosok yang yang dingin, walau selalu berpenampilan rapi necis kemeja panjang dengan dasi dilehernya menampakan kesan formal dan terpelajar, rambutnya pendek, tersisir rapi di atas kepalanya, sederet kumis tipis menghiasi atas bibirnya.

Ia menatapku seperti biasanya, datar tanpa ekspresi.

“Duduklah, Moira,” sapanya.

Aku duduk dikursi yang disediakan didepan meja prof. Julian yang besar oval berkaca diatasnya, tas ranselku kucopot dan kudekap didepan tubuhku untuk menutupi kegalauan ku saat itu, loloskah skripsiku?

“Bagaimana kondisimu Moira, kudengar kau sakit beberapa hari yang lalu?”

Aku terkejut sekaligus senang akan perhatiannya yang tak terduga atas diriku. "Oh, sudah lewat Prof. Aku alergi jamur, kemarin aku tidak sengaja makan jamur merang, Prof.” ranselku kuturunkan, lalu kutaruh disamping kakiku.

“Sekarang sudah sehat, kan? Aku punya dua berita baik untukmu,” ujarnya. “Yang pertama, setelah menguji skripsimu kemarin, aku mewakili rekan penguji menyatakan bahwa skripsimu yang berjudul Hipnotherapy Sebagai Penunjang Kesembuhan Abnormal Psychology, dinyatakan diterima tanpa revisi.” 

“Oh, waw. Terima kasih, Prof,” ujarku gembira.

“Berita baik kedua...,” Prof. Julian menggantung kalimatnya.

Aku mencondongkan tubuh, menanti kelanjutan kalimatnya kurasakan mataku berbinar menunggu kalimat berikut darinya “Kamu mendapat tawaran pekerjaan yang sangat bagus dari rekanan universitas.”

Aku terhenyak, perasaanku tercampur aduk saat itu, kebahagiaan yang satu disusul kebahagiaan yang lain, terasa mataku agak berkaca-kaca saat itu karena sangat bahagia. Untuk menutupi gayaku yang mungkin salah tingkah saat itu disertai rasa ingin tahuku yang besar, segera aku berucap “Ini sungguh surprise banget buat aku. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi Prof? Walaupun aku cumlaude tapi kan... tentu masih banyak yang lebih baik diatasku kan, Prof?”

“Untuk tahun ini memang kamu di ranking ke-4. Tapi bahasan skripsimu itu dan kau bisa mempraktekkan hypnotherapymulah dengan baik, bahkan yang terbaik,” ujar prof. Julian sambil menatapku.

“Profesor, aku sungguh tersanjung. Lalu, bolehkah aku tahu lebih lanjut tentang tawaran pekerjaan tadi, Prof?” tanyaku bersemangat.

“Ini suratnya. Bacalah,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih padaku.

Aku menerimanya... tiba tiba Deg! Jantungku seperti berhenti, mataku terbelalak demi melihat logo segitiga yang tertera pada sampul depan amlop itu. Logo segitiga yang semalam dan malam-malam sebelumnya muncul dalam mimpiku.

“Logo ini... logo ini...,” aku tergagap-gagap. Bayangan pintu besar dalam kabut, tangan menjulur terluka, mata yang berdarah, desahan wanita yang memanggil namaku berkelebat cepat dalam pikiranku.

“Ada apa, Moi?”

“Oh, tidak ada apa-apa Prof,” Aku mencoba menenangkan diriku, mengeluarkan suratnya dan menatap sekali lagi logo segitiga itu di kepala suratnya. Aku membaca dengan cepat.

Ponsel Profesor Julian berbunyi. Ia segera menerima panggilan masuk itu, “Ya, halo? Ya, dia sudah disini. Mari masuk saja,” ujarnya dan menutup ponselnya. Pintu terbuka. Seorang wanita berwajah sangat cantik, rambutnya hitam lurus, dengan panjang terurai, badannya tinggi dengan bentuk tubuh proporsional, berkacamata bulat, pakaian setelan blazer memasuki ruangan.

Sepatu hitam high heelsnya berbunyi ketak ketuk kala ia berjalan. “Moira, ini Mrs. Rose. Dia nanti yang akan menjelaskan detail pekerjaan barumu, saat ini secara umum dia akan menggambarkan seperti apa pekerjaanmu, karena ini confidential, aku persilahkan kalian di ruanganku, aku harus keluar dari sini,” kata prof. Julian sambil beringsut dari kursinya.

“Hello, Mrs. Rose. Aku Moira,” ujarku segera memperkenalkan diri dan mengulurkan tanganku, kulihat prof. Julian pergi meninggalkan kami berdua dan tubuhnya tak nampak lagi saat pintu nya ditutup.

Mrs. Rose menjabat tanganku. Saat aku berdiri terasa postur Mrs. Rose lebih tinggi dariku. Jemarinya terasa lebih tebal dari jariku dan ia menjabat tanganku dengan kuat.

Mrs. Rose tipe wanita tangguh berkemauan kuat, terpancar dari tatapan mata serta genggaman tangannya, pikirku mencoba menganalisa lawan bicaraku.

“Moi, pekerjaan ini adalah bagian dari rahasia negara. Sebelumnya kami telah mempelajari kepribadianmu serta skripsimu. Kami menilai kamu tepat untuk pekerjaan ini, dan perekrutan kami berlangsung rahasia karena ini demi masa depan bangsa dan negara” ujar Mrs. Rose. Dari nada suaranya tersirat ketegasannya, mungkin orang ini tipenya lurus pada peraturan, pikirku lagi. “Terima kasih, Mrs. Rose, aku rasa... aku menyukainya. Tapi bolehkah aku minta waktu untuk memikirkannya terlebih dulu?”

Lihat selengkapnya