Chimera Project : The Gifted Ones

Mordekhai Von
Chapter #3

Chapter 3 Para tamu istimewa The Special Guests

Dari helikopter yang terbang tinggi, pulau itu nampak kecil. Semakin mendekat, aku bisa melihat sebuah bangunan yang besar, berbentuk benteng kotak memanjang di tengah-tengah pulau. Bangunannya nampak kuno dengan tembok yang tebal. Helikopter yang mengangkut kami mulai terbang perlahan, kelihatannya mulai mempersiapkan untuk pendaratan. Helikopter melewati bangunan yang berbentuk mirip benteng tersebut. Sesudah melewati bangunan benteng, kulihat ada lahan mirip pertanian dan lahan untuk perternakan. Nampak kaca-kaca berkilat ...oh! Rupanya solar cell, untuk menyuplai kebutuhan listriknya. Aku menajamkan penglihatanku berusaha mengamati pintu gerbang depannya. Deg! Darahku serasa berhenti mengalir. Logo segitiga itu... ada logo segitiga besar terukir disana, ditengah pintu gerbangnya. Aku menghela napas dalam-dalam. “Kamu kenapa, Moi? Phobia ketinggian?” tanya Mrs. Rose halus. Aku menggeleng. “Bangunannya yang kelihatan kuno dan kolonial mengingatkanku sejarah jaman penjajahan, mungkin ditempat semacam ini para pejuang yang dianggap pemberontak diasingkan.”

Mrs. Rose tersenyum tipis. “Semua penjara bangunannya sama, Moi. Kelabu, tanpa warna. Beda sama Disneyland yang meriah penuh warna. Di Chimera nanti kamu akan bertemu dengan orang-orang yang telah kupresentasikan.” Helikopter terbang semakin rendah dan pelan, hingga akhirnya mendarat di landasan agak jauh dari lokasi benteng tadi. Aku mengikuti Mrs. Rose turun dari helikopter.

Seorang pria bertubuh tegap dan besar, berkepala gundul berdiri di sana, menyambut kami bersama dua prajurit di belakangnya. Baik si raksaksa gundul dan prajurit mempunyai seragam yang sama. Seragam berwarna krem dengan lengan tergulung di bahu dan ada kancingnya, berikat pinggang putih. Yang membedakan adalah atribut kepangkatan mereka di dada dan di pundak. Dua prajurit itu segera membantu menurunkan berbagai barang dari helikopter. Aku tertegun saat si raksaksa gundul mendekati kami, ingatanku akan presentasi Mrs. Rose segera berkelebat cepat. Pria besar ini adalah Dragono, kepala sipir penjara Chimera. “Selamat datang di Chimera, Bocah. Namaku Dragono. Aku kepala sipir disini.” Pria itu mengulurkan tangannya. Aku memperkenalkan diri, “Selamat pagi, Pak Dragono. Aku Moira Gepardi.” Aku mencoba berbicara dengan tenang. Itu cukup sulit, karena aku merasa gentar dengan postur tubuh, suara serta ekspresi Dragono. Lingkungan baru, suasana pulau yang sunyi mencekam, membuatku merasa terintimidasi. Untunglah Mrs. Rose ada di sebelahku. Kehadirannya di dekatku telah mensupport mentalku. Aku mengulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. Tangan Dragono luar biasa besar, berat dan kasar. Aku merasakan tanganku begitu kecil dalam genggamannya. Berhadapan dengan Dragono, tinggiku hanya setinggi dadanya. Aku harus mendongak padanya untuk dapat memandang matanya saat berbicara dengannya. “Senang berjumpa Anda, Pak.” Aku tersenyum padanya. Dragono tidak membalas senyumanku. Mungkin ia sudah lupa bagaimana caranya tersenyum, pikirku. Pria besar itu bahkan menatap tajam kearah mataku. “Ingat satu pesanku, Bocah. Jangan ikut campur urusan di pulau ini. Prioritaskan untuk melakukan tugas-tugasmu saja. Catatlah data dan evaluasi penghuni pulau ini secara keilmuanmu.” “Ya, oke. Siap, Pak Dragono.” Sahutku perlahan. Suaraku agak tercekat. Dari kalimatnya tersirat Dragono mencurigaiku atau akan membatasi gerakku. Huuufht...penyambutan awal yang mencekam, sangat jauh dari welcome yang aku harapkan sebagai tim kerja. Aku lihat Mrs. Rose memberikan sesuatu ke Dragono. Pria itu menyeringai dan menyimpannya di sakunya lalu mendahului berjalan di depan kami. “Jangan terpengaruh dengan tubuh besarnya, Moi. Dragono tidak semenakutkan penampilannya kok,” bisik Mrs. Rose. “Benarkah itu, Mrs. Rose?” tanyaku ikut berbisik. “Dragono suka coklat. Tadi aku barusan ngasih dia coklat. Di sini tidak ada minimarket, Moi. Kebutuhan remeh seperti coklat sulit didapat di sini. Jadi mendapatkan coklat bagi Dragono seperti mendapat harta karun, Moi.” “Mrs. Rose perhatian sekali ya.” aku keheranan. “Dia orang yang baik, tegas, dan patuh pada pimpinannya. Nantinya dia akan banyak membantu kita saat kita mengobservasi tiga obyek terberat kita yakni Leman, Rado juga Vicko.”

Kami berjalan menapak jalan aspal melewati lahan solar cell, kebun pertanian dan perternakan. Kulihat ada berbagai ternak disana. Ayam, kambing, juga ada beberapa ekor sapi. Kandang binatang ini berdekatan. Rupanya pulau ini mencukupi kebutuhannya sendiri untuk makanan dan daya listriknya. Aku berjalan mendekati gerbang kayu dengan logo metal yang kulihat tadi di helikopter. Gerbang besar kokoh dengan logo segitiga di tengahnya. Aku membayangkan truk-truk militerpun bisa masuk ke dalamnya. Beberapa prajurit nampak berjaga. Semuanya terlihat jelas dan nyata, tanpa kabut atau apapun seperti yang muncul di mimpiku. Logo segitiga dengan ukiran kepala singa, kambing serta naga di tiap sudutnya itu nampak jelas, menjulang di hadapanku. Bulu kudukku meremang. Selain hawa sejuk juga angin dingin yang kencang membuatku menggigil. Aku kembali teringat akan mimpi-mimpiku. Berdiri di depan gerbang itu, hawa kengerian terasa menyusup ke seluruh pori-pori tubuhku. Kakiku yang terbungkus dengan sepatu pantofelku menjadi dingin. Aku melangkah perlahan-lahan untuk mengatasi kegentaranku. Apakah sebaiknya aku meminta kepada Mrs. Rose untuk dipulangkan kembali pakai helikopter? Sebelum terlambat?

Dragono membelakangi kami. Tak lama pintu itu terbuka dengan otomatis. 

Ada mesin scan sidik jari tertempel di dindingnya. Rupanya Dragono mengaksesnya untuk membuka pintu. Kedua prajurit yang membawa barang masih ada di belakang kami. Dragono berdiri di tengah pintu besar yang telah terbuka. Dua prajurit ada di samping pintu gerbang, mereka menyandang senapan laras panjang. Para prajurit itu menatap kami dengan sikap siaga. Aku menebar pandanganku ke segala penjuru. Di sebelah sana ombak berdebur-debur menghantam pantai. Pasir putih bersih yang terhampar luas, begitu mengundang untuk dijelajahi. 

Sesuatu benda menyentuh lenganku! “Aaaa!” Aku menjerit. “Moi! Ada apa? Ini aku.” Mrs. Rose menatapku. Rupanya tangan Mrs. Rose yang menyentuh lenganku. “Oh, sorry, Mrs. Rose. Maafkan aku.” “Para prajurit ingin mendapatkan scan sidik jarimu supaya kau punya dari pintu ini akses untuk masuk dan keluar.” kata Mrs. Rose sambil menunjuk prajurit yang bertugas. “Maaf Miss, silahkan letakkan jari-jari Anda disini.” Seorang prajurit berbicara padaku. Aku meletakkan jari-jariku persis seperti yang diminta prajurit. “Pindai jari anda Miss, ini nanti berguna sebagai akses pembuka pintu,” ujarnya. Mrs. Rose mempersilakan aku mencoba membuka pintu dengan pindai jari tanganku. Aku meletakkan telapak kananku di monitor kecil di alat pemindai, lalu satu prajurit lagi mengetik sesuatu di tabletnya. Sementara itu, dua prajurit yang membawa koper barang kami, berjalan mendahului kami. Aku kembali menarik napas dalam-dalam. Mempersiapkan hati serta mentalku. Aku memaksa kakiku melangkah masuk melewati gerbang.

Bangunan Chimera adalah bangunan kuno yang dipadukan dengan kecanggihan tehnologi. Ddrrtt secara otomatis pintu segera menutup kembali di belakangku. Sekarang aku berada di dalam bangunan berdinding tinggi kelabu dengan penerangan yang cukup. Saat aku mendongak, aku bisa melihat kamera-kamera CCTV tertempel di segala penjuru. Ada dua prajurit berdiri dengan alat detektor metal di tangannya, menunggu kami. “Barang-barang Anda akan kami periksa dulu.” ujar salah seorang prajurit tersebut. Aku mengangguk, "Silahkan." Prajurit petugas keamanan tersebut memeriksa tubuh dan koper-koperku. Di sudut yang lain Mrs. Rose nampak berbicara serius dengan Dragono. “Maaf, Ms. Moira, silahkan letakkan jari-jari Anda disini.” Aku meletakkan jari-jariku persis seperti yang diminta petugas. “Pindai jari tadi di depan sudah dapat untuk akses pembuka pintu, Ms. Moira,” ujarnya. Kemudian kami melangkah ke pintu kedua. Mrs. Rose mempersilakan aku mencoba membuka pintu dengan pindai jari tanganku. Aku meletakkan telapak kananku di monitor kecil di sisi kiri pintu. Dan srttt...  pintu kedua terbuka. Di balik pintu berdiri dua pria berseragam, mereka nampak siaga saat pintu terbuka. Pentungan besi tonfa nampak di samping pinggang mereka masing-masing. Mereka berdua memberi hormat kepada Mrs. Rose dengan meletakkan tangan kanannya di kepala, khas penghormatan a la prajurit.

Sang kepala sipir, Dragono berdiri tegak menjulang dengan melipat kedua tangannya di dadanya yang membusung berotot. “Sekali lagi aku ingatkan, kamu jalankan tugasmu disini, Bocah. Dan aku menjalankan tugasku. Lebih dari itu, kamu berhadapan denganku.” Ucapnya tegas. Aku mendongakkan wajahku ke atas, “Iya, Pak Dragono. Aku mengerti. Mohon bimbingannya, Pak," sahutku. Aku gagal menjawab dengan lepas. Suaraku yang keluar sedikit gemetar. Sungguh rasanya sangat tidak nyaman. Baru beberapa menit bertemu, kalimat-kalimat Dragono terdengar sangat keras menusuk perasaanku. “Jaga kelakuanmu disini, ya," ucapnya lagi. Kemudian ia membalikkan tubuh dan menjauhi kami. “Ikuti saja apa yang diinginkannya, Moi,” Mrs. Rose kembali berbisik. “Sumpah mati Mrs. Rose, aku tidak akan mencari-cari masalah dengannya,” ucapku yakin. Mrs. Rose menahan tawa. Saat itu Mrs. Rose sungguh nampak cantik. Melihatnya tertawa, aku terhibur. Paling tidak kami sesama wanita akan saling mendukung. Rasa ingin tahuku timbul. Mrs. Rose ini sudah menikahkah? Sudah memiliki anak-anakkah? Umur Mrs. Rose aku taksir sekitar 33-40 tahun. Lalu berapa lama sudah Mrs. Rose bekerja..ups, terkurung disini? Penampilan Mrs. Rose secara keseluruhan modis dan modern. Parfumnya harum dan lembut di hidungku. Sepatu boot hitam semata kaki yang dipakainya hari ini, aku tahu sepatu yang dipakainya bermerk, pasti mahal. Namun ia terisolasi dari berita televisi, medsos serta dunia luar. Aku menyadari tak semua orang merasa nyaman bila ditanyakan seputar kehidupan pribadinya. Aku berhasil mengunci mulutku dan terus melangkah mengimbangi langkah-langkah Mrs. Rose. Kami sampai di sebuah pintu. Mrs. Rose mengetuk pintu beberapa kali, lalu membuka pintu itu dengan memutar gagang pintunya.

“Tuan Jonah?” Mrs. Rose menyapa seorang pria paruh baya, berwajah keras ekspresinya kaku tak bersahabat, rambut dipotong cepak, sorot matanya seperti....kucing? Yah, kucing licik yang mengintai mangsa. Pria itu duduk di kursi hitam bersandaran tinggi. Kedua kakinya diletakkan menyilang di atas meja. Aku sungguh tidak suka dengan kesan pertama pertemuan kami. Pria ini bahkan tak terpikir untuk menurunkan kakinya karena kedatangan kami. Sungguh tak sopan, pikirku sebal. Tangannya tetap diletakkan di sandaran kusi besar yang didudukinya, kelihatan sekali pagi itu dia sedang menikmati waktunya di ruangan tersebut. “Moi, aku perkenalkan dengan pemimpin di pulau ini, Tuan Jonah. Tuan Jonah, ini Moira, sarjana psikologi yang akan mendokumentasi di pulau ini.”

“Selamat siang Tuan Jonah, perkenalkan, saya Moira.” Aku mengulurkan tanganku kepadanya, Tuan Jonah tidak menyambut tanganku, bahkan kedua belah tangannya yang juga berotot walau tidak sebesar Dragono, terangkat lalu diletakkan dibelakang kepalanya untuk dibuat sandaran santai, alis matanya berdiri dan matanya melirik memincing kearahku, pandangannya terasa nyinyir bagiku. Pria itu menatapku lewat sudut matanya,namun akhirnya dia angkat bicara, “Seperti yang Rose sudah bilang, aku Tuan Jonah. Aku yang bertanggung jawab di sini. Selama kamu disini, kamu kerjakan apa pekerjaanmu, aku juga kerja. Kita sama-sama kerja. Kau jangan mengusik pekerjaanku. Bisa kan bocah?”  

Kamu kerjakan apa pekerjaanmu, aku juga kerja, kau jangan mengusik pekerjaanku. Ucapannya begitu mirip dengan Dragono, jangan ikut campur urusan di pulau ini, kamu mengerjakan urusanmu, aku mengerjakan urusanku, selebihnya kamu berhadapan denganku.  Lagipula siapa coba yang mau mengusik urusan ataupun pekerjaan Tuan Jonah atau Dragono? Tidak bisakah mereka berdua sedikit ramah lalu mengatakan selamat datang? Aku menarik tanganku yang menggantung hampa perlahan-lahan, lalu aku membuat sebuah senyuman, kutarik bibirku untuk memaksakan sebuah senyuman tipis pada pria arogan dihadapanku dan mengangguk, aku sudah tidak sanggup berkata-kata saat itu, lututku terasa lemas mengalami sambutan yang paling tidak nyaman yang pernah kualami sepanjang hidupku. “Tenang saja Tuan Jonah, Moira dalam pengawasanku.” Ucap Mrs. Rose.

Lihat selengkapnya