"Kamu punya pacar gak sik?"
Rana nyaris menyembur meja makan dengan air minum yang sedang ia teguk. Untung saja Rana bisa menahan diri tepat waktu. Dari seberang meja makan, Mama memandangnya dengan sebelah alis terangkat.
"Kamu dengar ucapan Mama kan?" ulang Mama.
"Uhmm... Kok Mama nanya begitu?" tanya Rana dengan nada tenang, berbanding terbalik dengan detakan jantungnya yang mulai naik turun. Rana tidak siap dengan pertanyaan ini.
Mama tersenyum manis. Rana menelan ludahnya. Mama bukan tipe yang suka bertanya tentang kehidupan pribadi anak-anaknya sejak Rana dan keempat saudaranya beranjak dewasa. Sebaliknya, merekalah yang selalu bercerita tentang kehidupan pribadi masing-masing tanpa diminta. Kalaupun ada yang tidak mereka ceritakan, Mama selalu menarik kesimpulan kalau anak-anaknya butuh privasi.
Jika Mama bertanya sesuatu tentang 'kehidupan pribadi' di tengah sarapan, Rana tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Kamu tahu berapa umur kamu? Kepala tiga. Papa kamu sudah lama tiada, dan jenazahnya mungkin sudah membusuk. Mama sudah tua. Kamu ga mau kasih Mama cucu?"
Rana kembali menelan ludahnya. "Uhmm... Belum sih. Sejauh ini."
"Sejauh ini?"
Rana baru akan menjawab ketika terdengar suara pintu rumah terbuka dan tertutup. Mama langsung bangkit berjalan melewati Rana dan setengah berseru bertanya, "Raka, kamu kah itu?"
Seorang laki-laki berkemeja biru dengan umur di akhir 20an muncul, lalu menunduk mencium kening Mama.
"Halo Ma," sapa Raka. "Aku capek banget. Apa ada nasi yang tersisa?"