Gadis kecil itu berlari kencang menuju bukit dengan terengah-engah. Tanah basah dan licin sehabis hujan semalam tak menyurutkan langkahnya. Tujuannya satu, menuju puncak bukit di antara pohon-pohon kopi yang terbentang sekitar rumahnya.
Menjauh. Itu yang diinginkannya saat ini. Menjauh dari rumahnya sejauh yang dia bisa. Saat ini matanya mulai buram dan berkaca-kaca. Hidungnya mulai tersumbat dan rasa tercekat mencengkeram lehernya.
Angin bertiup sangat kencang saat itu meliuk-liukkan dedaunan di pohon kopi sehingga menari-nari. Panasnya mentari seolah membakar perjalanannya menuju bukit. Kakinya yang telanjang tak mempedulikan batu-batu kecil dan tajam yang menusuk kakinya. Dia tidak merasakan kesakitan di kakinya. Dia juga tak merasa kepanasan.
Rasa sakit dan shock di hati telah memonopoli indera syarafnya. Suasana hatinya tampak gelap seburam pandangan matanya saat ini. Aroma perkebunan kopi yang khas sekarang membuatnya mual. Dadanya sungguh sesak. Oksigen yang melimpah saat ini tak berguna baginya.
Jauh. Dia ingin menjauhi rumahnya. Dia menambahkan kecepatannya semaksimal mungkin. Angin makin menderu-deru di telinganya. Meniupkan musik pemberontakan dan ketidakberdayaaan menelusup masuk kapiler darahnya. Jantungnya berdebar memompa darah lebih cepat dan meniupkan api putus asa dan kekecewaan langsung ke hatinya.
Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Dalam benaknya kembali terbayang sosok Ibu yang diam kaku terbujur di tempat tidur. Satu berita yang datang di sore hari membuat Ibu pingsan seketika lalu berakhir koma.
Mengapa harus Ibu? Mengapa harus Ibuku? Seru gadis kecil itu dengan lirih. Suaranya hilang disapu kegelisahan. Dan gadis kecil itu kini menelungkup memeluk rumput basah. Pundaknya berguncang-guncang. Isaknya yang lirih makin lama makin keras dan kencang. Daun-daun kopi menari-nari berirama lalu menjatuhkan daun-daunnya gugur ke atas tanah. Seolah-olah tahu penderitaan gadis kecil itu. Aroma biji kopi yang menjelang masak menambah kesenduan gadis kecil itu kian menjadi-jadi.
Satu jam, dua jam, waktu berdetak diam-diam dan beranjak sore hari. Gadis itu tetap tergugu pilu pada rumput-rumput basah. Kelelahan telah membuat tangisannya terhenti. Matanya yang sembab dan menyorot kosong menandakan tangisan dalam hati yang tak muncul keluar.
Hatinya masih mendung walaupun hujan di langit telah menuntaskan misinya. Mukanya semerah strawberry yang baru masak di pohon. Pipinya yang sehalus mutiara memerah dadu dengan indahnya. Matanya berkilauan dengan sisa air mata yang tak keluar. Rambutnya yang ikal berantakan menyisakan ikal-ikal nakal di kedua sisi wajahnya. Membingkai kepolosan murni bocah kecil nan cantik.
Sretttt. Suara daun-daun jatuh yang bergesekan pelan terdengar. Gadis kecil itu masih tenggelam dalam kesedihannya. Perlahan terdengar suara itu. Suara musik yang melantun indah. Gadis kecil itupun menegakkan tubuhnya. Matanya mencari-cari asal suara biola itu.
Pada jarak tiga pohon kopi, seorang remaja laki-laki sedang tersenyum mengejek memperhatikan dirinya sambil menggesekkan biola. Gadis kecil itu membelalakkan mata. Kali ini lagu Happy birthday melantun indah hasil gesekan tangan kanan remaja itu. Mata gadis itu membelalak makin lebar. Perlahan tapi pasti si penggesek biola melangkah mendekatinya.