Kadang, jatuh cinta bisa lewat sebuah tantangan. Kadang juga, cinta atas sebuah tantangan berakhir mengenaskan.
—Calandre Zakeisha
🍁🍁🍁
“Sialan! Gegara ayam tetangga gue jadi telat,” rutuk Cala dengan hebohnya. Rambut yang tampak tak di sisir dan di biarkan tergerai bebas itu berterbangan kala hembusan angin menerpanya.
Cala terus berlari kencang, menuju pagar SMA Bintara yang tak terlalu jauh dari halte. Namun sialnya pagar SMA Bintara sudah tertutup rapat.
“Alamat di bariskan di barisan depan nih, gue!” gerutu Cala dengan nafas tersengal. Hari ini benar-benar sial baginya, sudah terlambat, pagar pun di tutup. Dan parahnya, yang membukakan pintu pagar untuknya adalah Pak Jeno—guru muda namun sangat galak.
“Masih? Kamu-kamu saja yang saya bukain pagar,” heran Pak Jeno sembari menggelengkan kepalanya.
Cala hanya menyengir singkat. “Siapa suruh bapak yang bukain. Kan ada Pak Satpam,” ucapnya membela diri. Lagian, bukan salah Cala yang selalu terlambat, salahkan bundanya juga ayam tetangga yang tak pernah membangunkannya.
“Halah omonganmu,” cibir Pak Jeno, “ikut Bapak buruan.”
Tubuh Cala kembali menegak lalu segera ia mengikuti langkah lebar Pak Jeno. “Pagi-pagi udah marah-marah. Gue doain kena tekanan baru tau rasa,” cibir Cala teramat pelan.
Upacara ternyata sudah di mulai, bakal malu lagi Cala hari ini sebab dibariskan di barisan depan. Sudah hampir setiap harinya Cala di jemur, dan sekarang ia tak ada jeranya dibariskan di barisan depan. Mungkin orang-orang hanya bisa beranggapan bahwa urat malu Cala itu sudah putus.
“Sstt, untung aja ada elo, kalau nggak udah solo gue di sini,” bisik Cala pada seorang cowok di sampingnya.
“Ya, untung,” sahut cowok itu.
Sepertinya dia anak kelas sepuluh. Terlihat wajahnya yang masih tampak asing. Atributnya lengkap, dia hanya terlambat saja. Sedangkan Cala ... ah, ntahlah gadis itu niat turun sekolah atau tidak.
Selama satu jam upacara, Cala terus mengoceh dalam diam. Kakinya bergerak begitu gelisah sebab matahari secara terang-terangan menyorotnya tanpa rasa iba. Tidak mengertikah matahari, bahwa Cala itu tidak menggunakan topi.
“Kita lihat dua orang murid ini,” tunjuk Pak Jeno pada Cala dan satu adik kelasnya, “sekolah sudah memberlakukan peraturan masuk pukul tujuh tiga puluh. Dan anak-anak ini, masih saja terlambat,” omel Pak Jeno jengah.
Barisan upacara tidak di bubarkan padahal sudah selesai. Cala yakin Pak Jeno sengaja, agar bisa membuat dirinya tambah malu.
“Dasar guru edan, untung aja dia lebih tua dari gue, kalau enggak udah gue hempas tuh kepalanya,” cibir Cala terlampau kesal.
“Lihat Cala,” ucap Pak Jeno sembari menatap Cala dengan tatapan jengah, “sepatu warna putih, dasi nggak di pakai, topi apa lagi. Ikat pinggang juga nggak ada, kaos kaki di bawah mata kaki. Apa lagi yang kamu langgar Cala? Oh ya! Terlambat teruss.”
“Sialan, auto berkurang followers gue,” geram Cala berbisik.
“Kamu dengar, Cala?”
“Iya Pak, dengar,” sahut Cala malas. Padahal ia tak mendengar sama sekali ucapan Pak Jeno yang menasehati dirinya. Cuih, bunda aja nggak sampai segitunya menasehi Cala, dan ini, Pak Jeno sok yes gampang sekali memarahinya.
Barisan pun di bubarkan, tapi tidak dengan Cala juga satu siswa di sampingnya. Lengkap sekali kesialan dirinya hari ini, yahh, semoga saja tidak ada hal-hal yang membuat emosinya naik hari ini.
“Anjing banget hari Senin! Gue hapus juga baru tau rasa,” sungut Cala setelah dirinya baru saja memasuki kelas. Sudah berdenging telinga Cala sebab Pak Jeno terus mengoceh padanya.
“Lonya juga, sih, bandel,” cibir Abella dengan tangan yang melempar satu botol air meneral.
“Bandel apaan coba? Gue ini paling alim kalau lo nggak tau,” sahut Cala sembari meneguk habis isi air mineral.
“Cuih! Sampai kiamat pun lo nggak bakal bisa alim, Cal,” sungut Abella sangit.
“Halah, omongan lo emang selalu bikin naek emosi tau nggak, Bel? Sialan lo,” geram Cala sebal. Gadis itu membuka tasnya, lalu mengeluarkan beberapa cokelat batangan dengan merk berbeda-beda.
“Anjir! Makan nggak bagi-bagi,” omel Farrel sembari mendekat. Tangannya sontak ingin mengambil satu buah cokelat di atas meja Cala, namun sebelum ia berhasil menyentuh, tangannya sudah di pukul oleh si pemilik cokelat.
“Enak aja! Beli sana. Dasar kere!” cibir Cala sambil memeluk cokelat-cokelat miliknya.
“Pelit!! Cala pelit!!” teriak Farrel sebal. Wajahnya tampak kesal.
“Bodo,” sahut Cala tak peduli.
Abella yang hanya diam sambil menatap dengan wajah bodoh ke arah sahabatnya. “Kagak enek apa makan sebanyak itu, Cal?” tanyanya heran. Ini masih pagi, dan Cala sudah sarapan dengan cokelat.
“Kagak lah! Udah lah, nggak usah ngebacot deh Bel, gue lagi mau balikin mood setelah di buat ancur sama lo-lo pada,” kata Cala sembari terus asik mengunyah cokelat-cokelat miliknya.
“Sialan!! Udah nggak di kasih, di salahkan pula! Dasar laknat lo, Cal! Kurang ajarrr!!” sungut Farrel berapi-api.
“Bacot banget sih lo, Rel? Nih nih ambil!” jengah Cala sambil menyodorkan satu bungkus cokelat ke dada Farrel. “Abisin sampai bungkusnya. Awas aja nggak abis!” katanya dengan kesal.
Farrel akhirnya cengengesan dengan tangan yang siap membuka bungkusan cokelat pemberian tak ikhlas dari Cala. “Lo mau nggak, Bel?” tawarnya pada Abella.
Abella menggeleng tanda menolak. “Gue nggak terlalu suka yang manis-manis,” ucapnya.