Rangga menggeliat dibalik selimut. Semenjak penolakan cinta dua hari yang lalu, Rangga tidak masuk sekolah. Entah kenapa dia jadi tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Bahkan rasanya untuk bernapas saja Rangga malas.
"Bodo ah, gue lagi males sekolah," ucap Rangga. Dia menarik guling kedalam selimut lalu memeluknya dengan erat.
Suara ketukan pintu kamar membuat Rangga keluar dari balik selimut. Siapa yang sudah mengganggunya pagi-pagi. Padahal dia sudah mewanti-wanti pada Bi Siti pembantunya jika dia tidak ingin diganggu.
"Kan Rangga udah bilang Bi, Rangga gak mau diganggu!" teriak Rangga seraya kembali menyelimuti seluruh tubuhnya. Namun jawaban dari balik pintu membuat Rangga terdiam, bukan suara Bi Siti melainkan suara...
"Buka pintunya Rangga! Mama mau ngomong sama kamu!"
Rangga menepuk dahi, bagaimana bisa Mamanya ada di rumah. Bukankah Dewi pergi selama seminggu. Rangga menoleh ke arah kalender kecil dimeja nakas untuk memastikan tanggal berapa sekarang.
"Baru empat hari kok Mama udah balik. Mampus dong, kalo Mama tahu gue bolos sekolah!"
"Rangga kamu di dalam kan? Cepetan buka atau Mama tendang pintu kamar kamu!" Rangga semakin panik, dia bingung harus menjawab apa pada sang Mama. Dia juga tidak bisa membiarkan Mamanya terus berada diluar kamar, karena bukan tak mungkin jika Mama Rangga akan benar-benar menendang pintu kamarnya hingga terbuka, mengingat Mama Rangga pemegang sabuk hitam taekwondo.
Tak ingin pintu kamarnya benar-benar rusak, Rangga memberanikan diri untuk membukakan pintu.
"Pa...pagi Ma," sapa Rangga kikuk.
Dewi menatap anaknya dari ujung kepala hingga ujung kaki sambil berkacak pinggang. Rambut acak-acakan, kaos longgar yang sudah belel, kolor selutut. Menurutnya penampilan Rangga saat ini sungguh mirip dengan orang gila yang selalu lewat didepan rumah mereka.
"Kamu kenapa gak sekolah? Udah ngerasa pintar kamu, Sampai tiga hari bolos sekolah," ujar Dewi tanpa basa-basi
"Rangga sakit Ma," jawab Rangga pura-pura lemas. Untuk meyakinkan Dewi, dia juga memegang kepalanya.
Dewi tidak percaya begitu saja dengan ucapan anaknya. Dia meletakan punggung tangan di dahi Rangga dan menurutnya suhu tubuh Rangga normal-normal saja.
"Suhu badan kamu normal-normal aja. Apanya yang sakit?"
Badan Rangga longsor, dia terduduk di lantai seraya memegang dadanya yang terasa sesak ketika mengingat Raya menolak cintanya.
"Disini Ma, hati Rangga yang sakit. Raya nolak cinta Rangga. Padahal kan Rangga udah lama suka sama dia!" Dewi menggelengkan kepalanya. Kenapa anak lelakinya ini mempunyai mental yang sangat lembek? Baru ditolak cinta saja sudah seperti ini, bagaimana jika Rangga punya masalah yang lebih berat dari ini? Bisa-bisa Rangga bunuh diri, mungkin.
"Berdiri!" perintah Dewi.
"Ma."
"Berdiri Rangga!"
Susah payah Rangga mengangkat tubuhnya untuk bangkit. Namun bukan elusan atau kalimat penghibur yang dia terima dari sang Mama, melainkan jeweran ditelinga yang berhasil membuat Rangga merintih.
"Aw Ma sakit Ma! Ampun!" Bukannya kasihan dan melepaskan jeweran di telinga Rangga, Dewi malah menyeret anaknya menuju kolam renang belakang rumah.
Byurr!!
Tubuh Rangga terhempas kedalam kolam renang setelah Dewi mendorongnya dengan kuat. Rangga kini sudah tidak terlalu mirip orang gila, namun lebih mirip anak ayam yang tercebur selokan.
"Mandi sana biar sadar!"