"Ah sial!" ujar Hervian mengumpat kesal.
Dengan keras, mengacak - acak rambutnya frustrasi.
Suara umpatan Hervian terdengar oleh sang ayah Herman, yang baru saja tiba di rumah setelah menjemput sang Istri Mirna yang bekerja di salah satu pabrik makanan di kota.
"Dek itu suara Hervian, kelihatan sedang kesal coba kamu lihat ke kamarnya takut ada apa -apa," ucap Pak Herman kepada sang istri.
"Ya mas, coba aku lihat dulu."
Mirna beranjak menuju ke kamar anak sulungnya itu terlihat sangat cemas.
"Astagfirullah, istigfar Nak!" Mirna berteriak kaget melihat keadaan kamar Hervian saat tiba di sana. Terlebih melihat keadaan Hervian yang duduk bersimpuh di atas pecahan barang-barang berserakan menangis pilu.
"Mas cepat ke sini!" teriak Mirna memangil sang suami.
"Ada apa dek?" Mendengar teriakan sang istri Herman berteriak menyahuti. Buru- buru bergegas menghampiri kamar Hervian.
"Astagfirullah," ujarnya kaget melihat keadaan Hervian, Pak Herman berjalan menghampiri dan menariknya berdiri menuju ruang tamu di ikuti sang ibu Mirna.
"Kenapa kamu seperti ini Nak?" tanya Pak Herman cemas.
"Kenapa jadi seperti ini Nak, cerita sama ibu ada apa?" Mirna menangis memeluk Hervian.
"Maafkan Hervian Bu, Pak, sudah membuat kalian khawatir. Hervian nggak sanggup menghadapi semua ini, Riya sudah pergi dengan pria itu hari ini sama sekali tidak ada rasa penyesalan dihatinya dengan tega dia memilih pergi bersama pria itu. Saat dia sendiri tahu bahwa aku masih sangat mencintainya dan juga terluka karena kehilangan anak kami!"ujar Hervian menangis dalam pelukan sang ibu. Mengungkapkan semua perasaan yang terasa mencekik hatinya.
"Kamu harus kuat Nak,ini ujian dari Allah. Berdoa dan lebih dekat pada-Nya insya Allah dia akan memberi kamu jalan yang terbaik. Jangan hukum diri kamu seperti ini yang sudah pergi relakan dia pergi jangan kamu tangisi," ucap Mirna menasehati.
"Ibu kamu benar Nak, sudah cukup jangan di tangisi lagi relakan Riya, dia sudah memilih jalannya sendiri."