Di sudut pemakaman terlihat seorang pria tengah membaca doa dengan khusyuk di depan pusara kecil tak bernama.
Selesai memanjatkan doa pria itu menaburkan bunga dan air di atas pusara itu. mengusap batu nisan itu perlahan – lahan, setiap hari pria itu datang bersimpuh di depan pusara sampai sore menjelang. Orang – orang yang awalnya memandang dia aneh mulai terbiasa dan tak lagi mempermasalahkan.
Pria itu adalah Hervian yang menghabiskan waktunya mengunjungi makam sang anak yang telah lebih dulu pergi meninggalkannya.
"Andai kamu masih ada di sini Nak, semua ini nggak akan terjadi tapi satu hal yang patut Ayah syukuri. Kamu jauh lebih baik berada di sana setidaknya kamu nggak harus merasakan sakit yang Ayah rasakan saat ini,” ujar Hervian sedih.
Inilah kegiatan yang dilakukannya saat libur kerja mengunjungi dan mendoakan sang anak. Di depan pusara sang anaklah Hervian mengungkap kepedihan hatinya, terkadang dia berpikir begitu tidak adilnya Tuhan kepadanya. Setelah dia mengambil buah hatinya seakan itu belum cukup, dia juga membuat Riya pergi meninggalkannya menyisahkan kenangan hampa.
“Maafkan Ayah Nak, karena terlalu pengecut dan terbawa perasaan ayah tidak bisa menghentikan ibu kamu,” ucap Hervian beranjak pergi meninggalkan makam.
“Aku nggak tega melihat Hervian seperti ini Dek,” ujar Pak Herman pada sang istri.
Mirna memandangi anak sulungnya Hervian yang memasuki kamar, sejak wanita tak tahu malu itu pergi meninggalkannya.Hervian sering termenung sendiri, setiap hari saat dia sempat atau libur bekerja selalu mengunjungi makam sang anak, dia akan lama berada di sana bisa dari pagi sampai sore sebagai ibu dia tak kuasa melarang melihat keadaan Hervian yang sangat terpuruk saat ini, Mungkin itu satu – satu hal terbaik.
“Ini semua terjadi karena wanita nggak tahu malu itu, ini yang dulu sempat membuat aku tidak menyetujui pernikahan ini sekarang semua sudah terbukti. Kalau saja dulu Hervian tidak bersikeras menikahi wanita itu mungkin ini nggak akan terjadi.”