"ABEL, SINI KAMU!"
Suara Rani menggelegar memenuhi ruangan tersebut. Sementara Abel yang di panggil masih diam mematung di tempatnya. Melihat Abel yang tidak menggubris perkataannya, Rani menarik tangan Abel dengan kasar.
"Lepasin, Ma. Sakit ...." Abel berusaha melepaskan cekalan tangan Rani.
"Kenapa kamu siram Gita, hah? Kamu lihat, dia sampe demam."
Plakk
Satu tamparan keras mendarat di pipi Abel hingga kepalanya tertoleh ke samping. Abel memejamkan matanya untuk menetralisir rasa perih di pipinya.
"JAWAB SIALAN!" bentak Rani.
"Ma, Gita duluan yang siram Abel pake air panas."
"Kebiasaan kamu, bisanya hanya membela diri sendiri."
Plak
Satu tamparan kembali mendarat di pipi Abel membuat ia lagi-lagi harus memejamkan matanya.
Ia kemudian memberanikan diri untuk mendongak menatap Rani, "Kalau mama nggak percaya, kenapa harus nanya Abel? Dan dimana foto bunda, kenapa semuanya berubah?"
"Udah berani kamu, ya." Rani mendorong Abel kencang hingga kepala Abel terbentur pada dinding. Rasa pusing langsung menyerang Abel. Abel duduk meringkuk di sudut ruangan sambil menekan kepalanya yang sangat pusing.
"Foto bunda dimana?" Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bertanya kepada Rani.
"Oh, foto bunda kamu yang udah mati itu, ya?" Rani terkekeh dan berjalan kembali mendekat ke arah Abel.
Abel hanya meringkuk dan menunduk ketakutan sambil terus memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Rani jongkok dan kembali menjambak rambut Abel kasar.
"Bundamu yang sakit-sakitan itu udah nggak ada lagi Abel. Dia udah mati, mungkin juga udah membusuk. Wajar dong semua kenangan tentangnya kita musnahkan, kita buang. Dan kita mulai yang baru."
Abel meringis menahan sakit di kepalanya akibat cengkeraman Rani pada rambutnya yang sangat kencang.
"Jaga bicara anda. Jangan pernah bilang Bunda penyakitan." Air matanya turun dengan derasnya bersamaan dengan cengkeraman tangan Rani yang terlepas.
"Dia memang penyakitan Abel, sudah saatnya saya menggantikan posisi dia di rumah ini." Rani tersenyum licik.
"DIAM!!" teriak Abel. Kesabarannya kini sudah habis, rasa perih selalu menyerangnya setiap kali bundanya di hina.
"DIMANA FOTO BUNDA, KEMBALIKAN!" jerit Abel.
"Berani-beraninya kamu bentak saya, anak kurang ajar!" Rani melemparkan piring kaca yang ada di atas meja tepat mengenai dahi Abel.
Aawhh ...
Abel merasakan darah segar yang mengalir dari dahinya. Abel segera mengusap dengan punggung tangannya.
"Kalian boleh hina aku, jangan hina bunda ku. Bunda ku nggak bersalah." Tangis Abel seketika pecah.
Abel berusaha berdiri dan mulai berjalan mencari keberadaan foto bundanya.
"Bundamu layak mendapatkan itu, sialan."
"KALIAN YANG SIALAN, TIDAK TAU DI UNTUNG, NUMPANG DI RUMAH ORANG JADI TOXIC!" teriak Abel menggebu-gebu dan melemparkan semua foto Rani dan Gita yang di gantung di dinding mengganti foto bundanya.
Abel beralih ke meja dan membuang semua benda yang masih dapat di jangkau.
Ruangan yang tadi sangat rapi kini sangat berantakan, pecahan kaca menyebar dimana-mana.
Rani yang melihat itu menarik Abel dengan paksa dan menghempaskan tubuhnya ke sudut lemari.
"Udah makin kurang ajar kamu." Rani menampar pipi Abel berkali-kali. Tidak peduli dengan darah segar yang sedari tadi mengalir dari kepala dan hidung Abel.