"Gila sih itu si Gita, bisa-bisanya memutar balikkan fakta," gerutu Hans.
Semua orang yang ada di markas manggut-manggut menyetujui perkataan Hans.
"Gue yakin, yang nempel foto Abel di mading juga dia. Dan Hendra juga pasti percaya gitu aja."
"Lagian ya, itu si cebong. Bisa-bisanya lo yang lebih care sama Abel, sebenarnya cowok Abel itu dia atau lo sih?" ucap Gilbert mulai sewot.
"Kita gak bisa nyalahin dia gitu aja, kan bisa aja dia udah di hasut sama Gita buat benci sama Abel juga," kilah Andriska.
"Iya, gue setuju. Pasti Gita peyebab semua ini."
"Ya sama aja dong. Harusnya dia cari tau dulu, bukannya langsung percaya gitu aja. Emang tolol bener itu si cebong," timpal Gilbert lagi.
"Tumben lo pinter," ucap Hengky menatap Gilbert sambil mengerjapkan matanya beberapa kali, dan langsung mendapatkan geplakan yang lumayan keras di kepalanya.
Hengky langsung mengusap kepalanya dan menatap Gilbert dengan kesal, "Sakit bego."
"Makanya, kalau gue lagi dalam mode serius jangan becanda lo," timpal Gilbert.
"Bisa nggak sih lo berdua diem anteng. Gausah berisik," kesal Andriska sambil melemparkan botol minum kearah Gilbert dan Hengky.
"Astaga, ini tupperware nyokap gue, woi. Sembarangan amat lo main lempar-lempar gitu aja. Kalau lecet dikit, gue jadikan tumbal lo," ucap Gilbert sambil memeluk tupperware tersebut.
Semua orang yang ada di ruangan tersebut memutar bola matanya malas. "Lagian zaman sekarang masih bawa-bawa minum segala. Kayak anak TK lo, tau nggak?" ucap Hengky lagi.
"Heh, biar lo pada tau ya, ini itu minuman higienis, bu-"
"Dasar anak mami," kilah Hengky memotong ucapan Gilbert.
"Heh, kampret. Gue belum selesai ngomong ya."
"Bodo."
"Sialan, Lo."
"Berisik. Bisa diem nggak? Atau perlu gue lakban itu mulut," tukas Andriska menatap keduanya tajam.
"Ampun bos, kalau udah gini, kicep gue," gerutu Gilbert.
Begitulah suasana markas yang selalu ramai karena perdebatan Gilbert dengan Hengky yang sama sekali tidak ingin mengalah.
-----
Abel baru sampai di rumah pukul delapan malam. Terlihat dari raut wajahnya, ia sangat lelah sekarang. Dari pulang sekolah, Abel datang ke cafe untuk bantu-bantu anggotanya. Karena memang tadi cafenya sangat ramai.
Sebelum membuka pintu, Abel menghela nafasnya perlahan sambil berdoa supaya malam ini tidak ada drama apapun. Ia ingin langsung mandi dan tidur.
Ceklek
Betapa terkejutnya Abel melihat tubuh tegap ayahnya tengah berdiri tepat di depan pintu.
"A-yah," sapa Abel terbata.
"Masuk!"
Mendengar suara ayahnya yang dingin namun menekan membuat Abel menelan salivanya dengan susah payah. Kalau sudah begini Abel sudah tau apa yang akan terjadi.
Zaki menatap wajah Abel sekilas, sangat jelas terlihat bahwa Abel sangat lelah sekarang. "Bisa jelasin apa yang kamu lakukan sama Gita?" ucap Zaki masih dengan nada rendah namun menekan.
"Gita kenapa lagi, yah?" tanya Abel.
"Papa, jangan marah ya sama Abel. Aku gapapa kok, cuman kecewa doang sama Abel. Aku nggak tau kenapa Abel tega mempermalukan aku di depan semua orang. Mungkin yang dikatakan Abel benar, kalau kami cuman parasit di rumah ini," ucap Gita dengan raut wajah yang dibuat sesedih mungkin.
Abel menatap Gita sambil mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, hingga kuku panjangnya menembus telapak tangannya. Sementara yang di tatap tengah tersenyum sinis kepadanya.
Abel menghela nafasnya perlahan, kemudian kembali menatap Gita dengan tatapan datarnya. Diam ataupun melawan, Abel tetap akan salah dan selalu begitu. Untuk kali ini, dia tidak peduli. Biarlah ayahnya marah kepadanya, toh di jelaskan juga ayahnya tidak akan percaya.
"Bagus kalau lo sadar diri," ucap Abel masih dengan ekspresi datarnya.
"Kok kamu malah gitu sih? Kan aku lagi ngebela kamu supaya nggak dimarahin sama papa," ucap Gita yang seketika mengubah sebutannya menjadi aku-kamu.
Mendengar itu Abel mendengus geli, "Gue nggak butuh pembelaan lo!" sarkas Abel.
"Cukup, Abel. Makin lama kamu makin kurang ajar. Harus seperti apa cara saya untuk mendidik kamu? Hah!" Zaki mengusap wajahnya dengan kasar.